6 - Rasa Sayang Ke Calon Bayi

8K 559 10
                                    

Selama empat hari terakhir, Dahayu selalu terbangun pada dini hari oleh desakan rasa mual yang cukup berat, berakhir dengan memuntahkan isi perutnya secara paksa yang kebanyakan berupa cairan bening tersebut.Kepeningan di kepala turut menyertai dan membuat Dahayu kian merasa tak nyaman akan kondisi tubuhnya yang tidak bersahabat.

Pada masa awal kehamilan yang pertama, ia tak terlalu direpotkan oleh efek dari morning sickess. Berbeda drastis dengan apa yang tengah dirinya alami sekarang. Tetapi, Dahayu tidak keberatan atau ingin mengeluhkan setiap proses yang harus ia lalui ini.

"Hai." Dahayu menggumamkan sepatah kata setenang mungkin untuk menyapa calon anaknya yang mulai tumbuh di dalam sana.

Getaran yang mengiringi suara Dahayu pun menjadi penanda jika perasaan asing sedang mengambil alih serta mengikiskan pertahanannya agar tak melibatkan emosi terlalu jauh.

Dahayu tampak tidak ingin begitu saja mengakhiri fokus serta atensinya yang seakan memang sudah tertarik bagai magnet dan memusat pada pantulan bayangan dirinya sendiri di cermin dinding kamar mandi.Walau, hanya memerlihatkan refleksi setengah badan, namun setiap detail perubahan yang terjadi di wajahnya, tentu tak akan luput dari pengamatan Dahayu. Khususnya mengenai tingkat kepucatan kian terlihat jelas di sana dan mungkin berupaya mengingatkan Dahayu lagi-lagi akan masa awal dari kehamilan keduanya.

Bukan sekadar hanya menyangkut tentang bukti adanya perbedaan air muka dari sebelum mengandung dan hingga kini usia janin di rahimnya menginjak lima minggu, namun tanda-tanda umum yang kerap wanita hamil alami juga turut ia rasakan.Misalkan saja, beberapa bagian tubuh terasa lebih membesar perlahan-lahan jika dilihat dari segi perubahan fisik, meski tidak banyak. Ia juga sering kali merasa mudah lelah dan capek saat bekerja. Jadi, sebisa mungkin Dahayu mengatur jam kerjanya.

"Apa kamu bilang? Anak kita? Aku pernah tidak ingin mengandung darah dagingmu!"

Dahayu langsung dihantui oleh serangkaian kalimat-kalimat jahat yang terlontar dari mulutnya, ketika bertengkar dengan Giri di hari dimana ia mengalami keguguran kehamilan pertama.Jika dipikir-pikir dan ditelaah lagi, maka ucapannya memang tak layak ia gunakan saat dikuasai oleh amarah dan kebencian pada Giri. Karena sama saja artinya dengan Dahayu yang tak mengharapkan kehamilan pertamanya. Padahal tidak demikian sesungguhnya.

"Maaf." Sebuah kata kembali digumamkan Dahayu dalam alunan nada lirih.

Mungkin ungkapan atas penyesalan dan rasa bersalahnya tak akan mudah terhapuskan hanya dengan satu kata itu. Ia tak akan dapat mengembalikan anaknya yang sudah pergi seperti Gristawan."Apa aku bisa dimaafkan? Bukannya aku adalah Ibu yang buruk? Aku tidak bisa menjaga dengan baik calon anak pertamaku." Dahayu terus terbelenggu oleh rasa bersalah.

"Jangan coba pergi meninggalkanku, ya? Aku tidak bisa merelakan lagi, kalau aku sampai kehilanganmu, Sayang." Tanpa memerlukan perintah khusus, tangan kanan Dahayu yang semula berada di washtafel telah bergerak perlahan menuju perut dan kemudian terhenti di atasnya.

Kepala Dahayu juga ikut tertunduk agar fokus perhatiannya dapat secara menyeluruh tertuju ke arah perutnya yang masih terlihat rata dan datar. Ia menyunggingkan senyum tipis."Aku akan melindungimu dengan segenap kekuatan yang aku punya. Berjanjilah untuk bertahan denganku, apa pun yang terjadi nantinya."

Saat menyadari buliran-buliran air mata mulai hendak menerobos keluar disela-sela perasaan asing yang diidentikkan sebagai naluri calon seorang ibu semakin mendominasi diri Dahayu.

Maka detik berikutnya, wanita itu mengupayakan untuk menetapkan pengendalian diri dan mengangkat kepala hingga pusat pandangannya kembali tersita ke cermin dinding kamar mandi. Namun, ketenangan yang coba ia dibangun harus lenyap seketika, saat pantulan sosok Giri kini terlihat begitu jelas di cermin.

Dahayu sama sekali tidak suka sedikit pun meneteskan air mata atau menangis di depan pria itu. Apalagi, harus sampai terlihat seperti orang yang lemah.Kebencian dan kemuakan Dahayu juga akan timbul saat dihadapkan dengan sorot mata sok perhatian yang ditunjukkan sangat nyata oleh Giri. Ia tak membutuhkan hal itu hingga detik ini pun. Atau mungkin tidak akan pernah.

"Apa yang terjadi, Da? Apa kamu sakit? Sudah ke dokter?"

Pancaran mata Dahayu seketika tampak menajam selepas pertanyaan Giri dapat tertangkap oleh kedua gendang telinganya. Cermin kamar mandi pun masih menjadi media dalam mempertemukan tatapan mereka berdua.Dahayu tak berkeinginan langsung mengeluarkan kata-katanya. Apa yang Giri tanyakan merupakan hal biasa yang menuntut jawaban penting.

"Jangan coba mendekat," peringat Dahayu manakala berhasil membaca pergerakkan Giri yang hendak menghampirinya. Wanita itu segera membalikkan badan.

"Aku tidak apa-apa. Aku cuma kurang istirahat. Jangan perlihatkan rasa cemasmu secara berlebihan lagi. Aku sudah bilang aku tidak suka dengan bentuk apa pun dari perhatian yang kamu ingin tunjukkan, Giri."

"Apa kamu tidak bisa sedikit saja memberi ruang agar aku dapat tenang?" lanjut Dahayu dingin. Walau, sorot matanya sudah tak setajam tadi.

Giri bungkam sementara. Sedangkan, dua matanya memerhatikan setiap inchi bagian wajah pucat Dahayu. Ia hanya merasa khawatir melihat keadaan wanita itu yang tidak sedang sehat.

Giri pun masih ingat akan janjinya pada Wina tempo hari. Dan ia tak akan memedulikan penolakan dari Dahayu yang pasti akan selalu diperolehnya."Kalau kamu sakit, periksa ke dokter, Da. Sudah hampir empat hari aku lihatmu bangun setiap jam tiga pagi dan muntah."

Tubuh Dahayu menegang. Ia mengira Giri tidak akan tahu perihal apa yang sudah dialaminya sejakempat hari belakangan ini. Tetapi, kenyataannya tak bisa seperti yang diinginkan."Apa setiap saat kamu terus mengawasiku sekarang? Kamu punya tujuan apa sebenarnya, Giri?" Dahayu mengeluarkan prasangka buruknya dan berupaya mengalihkan topik. Ia sungguh tidak mau pria itu sampai tahu mengenai kehamilannya.

"Aku tidak memiliki tujuan apa pun Da. Apa aku salah menanyakan keadaanmu?"

Dahayu tidak menjawab. Ia hanya melemparkan tatapan tajamnya lagi pada Giri. Mengapa pria itu gemar sekali menguji emosi dan rasa sabarnya tanpa mengenal waktu?

"Kamu istriku. Aku punya hak untuk mengetahui keadaan kamu, Dahayu. Kalau kamu kenapa-kenapa. Maka, aku yang akan disalahkan oleh keluarga kita."

Decakan sinis lantas Dahayu keluarkan. "Ck, harus seberapa sering aku mengatakan jika kamu tidak harus mencemasku secara berlebihan? Bukannya aku baru saja bilang? Apa kamu tuli?"

"Aku juga sudah sering katakan, kalau kamu tidak usah terlalu pusing dengan tanggung jawabmu pada keluarga kita masing-masing! Mereka tidak sepeduli itu dengan kondisi pernikahan kita!" Dahayu menaikan suaranya. Kemarahan sudah mulai tampak pada dua matanya.

Dan seharusnya Giri menuruti kemauan Dahayu agar tidak menyala api amarah dalam diri wanita itu. Tetapi berkebalikan dengan apa yang ia lakukan, Giri malah menarik lalu mencengkram tangan kanan sang istri yang lagi-lagi hendak pergi dari hadapannya tanpa permisi.

Reaksi Dahayu pun sesuai dugaannya, namun Giri tidak akan merasa gentar. Ia mesti segera mengonfirmasi segala sesuatu yang menciptakan ganjalan di hatinya. Semua bersumber pada Dahayu. Wanita itu banyak memiliki rahasia yang tak ia ketahui akhir-akhir ini.

"Apa maumu, Giri?" Dahayu seakan tidak takut mengeluarkan tantangan.

"Aku yang mestinya bertanya padamu, Da. Apa yang sebenarnya ingin kamu sembunyikan dariku?"

"Mata kamu tidak akan bisa berbohong, Dahayu. Aku tahu jika kamu sedang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku."

"Aku bahkan tidak berniat menyembunyikan apa pun dari kamu, Giri. Karena semua yang ada kaitan denganmu bagiku tidaklah penting."

"Benar begitu, Dahayu? Aku tidak bisa percaya."

"Aku tidak peduli," balas Dahayu sembari menghentakkan tangannya cukup keras yang dipegang oleh Giri.

"Aku akan mencari tahu sendiri apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Da. Aku akan menemukan secepatnya."

.................................................................

BECAUSE OF OUR SONSWhere stories live. Discover now