8 - Kegundahan Hati Giri

6.3K 503 14
                                    

Giri memijat-mijat bagian belakang lehernya guna mengurangi pegal terasa mengganggu sejak tadi, walau ia tak yakin dengan kemampuannya untuk urusan yang satu ini.Tidak hanya merasa lelah dan capek karena rutunitas kerja di kantor yang hari ini terjadwal padat, rasa kantuk pun telah ikut menyerang sehingga membuatnya ingin cepat-cepat pulang, lalu beristirahat.

Sayang, niatan Giri tersebut harus tertunda paling tidak untuk dua jam mendatang. Pasalnya, masih ada satu laporan lagi yang belum diselesaikan.Ia mungkin akan baru tiba di rumah secepatnya pukul 10 malam nanti.Pekerjaan kantor dapat dikatakan jadi faktor utama yang mengakibatkan kepeningan Giri kian bertambah. Tetapi, rasa pusing juga terus timbul tak luput karena ia terlalu keras memikirkan permasalahan lainnya.

Sosok Dahayu dan juga apa yang sudah mereka lakukan untuk kedua kalinya kemarin malam, merupakan penyumbang beban pikiran terbanyak juga di kepala Giri dan turut mengusik ketenangannya hingga kini.Terlebih lagi, mereka berdua tak ada berkomunikasi sejak pagi. Sehari-hari, dirinya dan Dahayu memang terbilang jarang bertelepon, kecuali jika ada urusan penting.

Giri bukannya tak pernah mencoba membangun komunikasi yang baik dengan Dahayu. Tetapi, usahanya kerap menuai hasil bertolak belakang karena wanita itu bahkan tidak memberikan respon, seperti membalas pesan yang ia kirimkan atau sekadar mengangkat telepon disaat jam istirahat makan siang berlangsung.

Kemungkinan terbesar yang sangat Giri hendak hindari, setelah kejadian kemarin malam, yakni mengenai kesalahpahaman di antara mereka tak jadi semakin sulit diluruskan, hingga memperparah kebencian Dahayu padanya.Keputusan segera Giri buat. Ia harus menjelaskan mengenai kemarin pada istrinya. Tangan Giri lantas bergerak guna mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia akan menghubungi Dahayu.

"Da, kamu sedang berada dimana? Apa sudah pulang?" Dua pertanyaan tersebut dilontarkan Giri saat telepon darinya diangkat di seberang sana.

Kebekuan mendadak menjalar hampir ke seluruh tubuh Giri mendengar si penerima suara memberitahukan dirinya tentang sesuatu yang tengah terjadi di ujung telepon. Hal yang genting.

"Ini bukan Dahayu? Apa ini Kak Wina?"

Dan untuk menarik napas pun terasa susah dilakukan Giri pasca mendengar isakan tangis pelan kakak sepupu dari istrinya itu. Firasat buruk menghinggapi Giri.

"Dahayu kenapa, Kak? Apa yang terjadi dengannya? Dimana saya sekarang, Kak Wina?" Giri belum bisa melepaskan kekhawatirannya. Ia ingin tahu keadaan Dahayu.

Giri pun refleks bangun dari kursi kerjanya. Kepanikan kini jelas terlihat di wajah pria itu. "Saya akan segera ke rumah sakit. Tolong jaga Dahayu, Kak."

.....................................................................................................

Kedua kaki Giri yang berpijak pada lantai ruangan IGD, seketika terasa melemas karena dihadapkan oleh pemandangan yang cukup berhasil menyayat hatinya. Membuat pria itu juga kehilangan kemampuan berpikir secara tiba-tiba.

Hanya ada nama dan sosok Dahayu yang kini mengisi kepala Giri. Setelah hampir berbulan-bulan lamanya mereka menikah dan malam ini untuk pertama kalinya ia melihat Dahayu berbaring lemah di ranjang pasien.

Denyutan nyeri yang tercipta di hati tak bisa Giri abaikan. Kondisi istrinya saat ini begitu membuat ia tidak tega. Giri pun sempat marah kepada dirinya sendiri sebab terlambat mengetahui keadaan Dahayu. Jika saja ia tadi tak menelepon, mungkin tidak akan pernah tahu.

"Kamu sudah datang ternyata."

Lamunan Giri kemudian buyar karena suara Wina yang memasuki indera pendengarannya. Ia lantas mengalihkan fokus dari sosok Dahayu ke arah sang kakak ipar yang sedang berjalan mendekatinya."Kak Wina dari mana?" tanya Giri membuka percakapan dengan suara pelan agar tidak mengganggu pasien lain yang juga berada di ruang IGD.

"Aku habis mengangkat telepon dari Gandhi luar. Dia akan kemari. Oh, iya, Kamu sudah lama sampai di sini, Giri?"

"Tidak, Kak. Baru saja."

Wina hanya mengukir senyum tanpa mengeluarkan suara atau sederetan kata sebagai balasan. Tapi, ia sudah merasa lega akan kedatangan Giri yang notabene merupakan suami dari adik sepupunya. Sekalipun Dahayu tidak izinkan untuk memberi tahu Giri tentang keberadaan mereka di rumah sakit tadinya, Wina tak akan mau menuruti permintaan tersebut.

Terlebih lagi, ketika kondisi Dahayu yang tengah tidak sehat. Cukup ia tak mengabari dua kakak sepupunya saja untuk sekian kali tentang kesehatan adik mereka. Namun tidak pada Giri, pria itu berhak tahu. Begitu sekiranya pemikiran Wina.

"Bagaimana keadaan Dahayu sekarang, Kak?" tanya Giri langsung menyadar pada hal yang sangat ingin ia ketahui.

"Keadaan Dahayu sudah mulai membaik. Dia butuh banyak istirahat. Dokter juga bilang Dahayu perlu dirawat inap setidaknya selama satu sampai dua hari," Wina menjelaskan.

"Kita tinggal menunggu Dahayu pindah ke ruangan aja. Aku sudah mencarikan kelas VIP," imbuh wanita itu.

"Maaf, Kak. Saya tidak tahu kalau Dahayu sakit." Giri diselimuti perasaan bersalah. Ia tidak bisa menjalankan tugas sebagai seorang suami dengan benar. Akan tetapi, ia sangat bersyukur karena tak terjadi sesuatu yang lebih buruk pada Dahayu.

"Itu bukan salah kamu, Giri. Dahayu hanya kelelahan dan sedikit demam. Tidak terjadi sesuatu yang serius. Tenanglah." Tangan Wina bergerak menuju bahu adik iparnya. Menepuk pelan di sana.

"Aku saja yang tadi di telepon khawatirnya berlebihan. Sorry soal itu, ya Giri?" Wina jadi tidak enak hati.

"Tidak apa-apa," sahut Giri singkat. Perhatiannya kembali tertuju ke arah Dahayu yang masih memejamkan mata."Terima kasih sudah menjaga istri saya, Kak." Giri berucap tulus.

Wina menganggukkan kepala ringan. Ia memang terlihat tenang di luar, tapi sebenarnya wanita itu hendak mengonfirmasi hal penting dari Giri. Khususnya tentang kehamilan Dahayu."Apa kita bisa bicara sebentar di luar, Giri? Beberapa menit saja. Ada yang ingin aku tanyakan." Wina pun lantas memutuskan untuk menuntaskan rasa penasarannya. Ia tak peduli dengan kemarahan Dahayu nanti kepadanya.

.............................................................................................

"Kak Wina ingin menanyakan apa pada saya?" tanya Giri to the point saat mereka berdua telah keluar dari ruangan IGD.

Wina menghirup sebanyak mungkin udara yang dapat terisi oleh paru-parunya. Mendadak ia disergap rasa gugup. Sorot mata yang diperlihatkan Giri turut menimbulkan keraguan dalam dirinya.

"Kak Wina?"

Kaki Wina berhenti melangkah. Ia menatap ke arah Giri serius. "Apakah kamu tahu kalau Dahayu sekarang sedang hamil lagi?" tanyanya hati-hati.

Mata Giri membelalak tak percaya. Keterkejutan yang teramat pun langsung melandanya. "Da...Dahayu hamil, Kak?"

"Iya. Beberapa waktu lalu Dahayu mengalami pendarahan setelah minum soju. Sejak itu aku tahu kalau dia hamil."

"Tapi, Dahayu tidak mengizinkanku untuk memberitahumu ataupun keluarga kita tentang kehamilannya. Dahayu bilang, kalau janin yang dia kandung bukan anak kamu Giri."

"Siang tadi, aku melihat Dahayu bertemu dengan Erig di sebuah kafe. Aku bahkan sempat bertanya pada Dahayu apa laki-laki itu merupakan ayah biologis dari janin yang dia kandung. Dahayu pun menjawab iya."

Belum ada reaksi apa pun yang ditunjukkan Giri. Dia tetap diam dan mencoba sekali lagi mencerna sebaik-baiknya perkataan Wina supaya ia tak salah tangkap. Ia terlalu syok.

"Waktu ini kamu juga mengatakan padaku kalau kamu mencintai adikku itu 'kan, Giri? Erig bukannya juga sahabat kamu? Aku tidak habis pikir kenapa Dahayu dan Erig bisa melakukan semua ini." Mata Wina mulai berkaca-kaca, namun tercipta emosi sedikit dalam suaranya.

"Bagaimana aku bisa menjelaskan semua pada keluarga kami, Giri? Mereka pasti tidak akan menerima kehamilan Dahayu. Bli Wirya, Bli Wira, dan Om Indra akan marah besar."

"Aku akan menanyakan langsung pada Erig malam ini juga, Kak," putus Giri tegas. Sorot matanya menajam. Terpancar jelas kecemburuan dalam dua manik pria itu.

BECAUSE OF OUR SONSOnde as histórias ganham vida. Descobre agora