Blurb:
Fathur Safabian, seorang professional Industri Kreatif yang bekerja di salah satu rumah produksi ternama di ibu kota. Pencapaian Fabian tidak semudah memasak mie instan. Hidup menjadikan Fabian layaknya seorang petualang yang sedang berjuang...
PERHATIAN: Sebelum membaca harap perhatikan 3 hal berikut: - Isi cerita mengandung kebaperan tingkat akut - Setiap quote yang menarik, bisa kalian share di sosial media dan wajib tag instagram aku (@)yudiiipratama - Vote terbanyak & komentar menarik kalian di setiap bab akan berkesempatan mendapatkan spesial gift dari Author. x x x x [Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Suara lantang Reyhan tiba-tiba hening ketika pertanyaan ambigu Fabian lontarkan. Bagi Fabian, hari apa pun itu, semua hari terlihat sama saja. Takkan ada yang berubah dari hari kemarin, hari ini, dan hari esok. Fabian yang membenci hari kemarin dan sama sekali tak ingin berharap pada hari esok. Sebab kondisi keluarganya begitu-begitu saja, tak ada yang berubah, Harmonisasi antara seorang suami dan istri, antara seorang ayah dan anak tak pernah terealisasi. Semenjak figur panutan dari keluarga Fabian yang kerap disapa Ayah terlalu mengejar ambisi pribadi dalam berbisnis, Fabian tak lagi ramah dan berkonflik dengan Ayahnya sendiri.
Di hari itu, Fabian menghentakkan suasana hening dalam kamar adiknya. Seragam baru yang melekat di badan Reyhan, buku-buku baru yang tersusun rapi di atas meja belajar, juga tas baru yang sebentar lagi akan Reyhan pikul menuju sekolah barunya membuat Fabian menyadari satu hal; adik-adiknya tumbuh begitu cepat, dan tantangan hidup keluarganya semakin sulit kedepan.
"Lo sekarang udah masuk SMP. Lo harus tekun belajarnya! Jangan kecewain Abang. Next, lo bakal ngerti alur kehidupan keluarga kita." tegas Fabian pada adiknya.
"Siap, Bang. Tapi Rey mau nanya Bang. Kenapa Bang Ian kerasnya ke Reyhan doang, sih? Sama Dela kok nggak?"
Ingin Fabian tertawa tapi ditahannya. "Lo nggak usah banyak tanya, dah. Intinya, gue nggak mau lo lemah, Rey. Kalau lo udah gede, lo harus lebih kuat dari gue!" pekiknya.
Reyhan menganggukkan kepala, Fabian berharap ia paham.
Perlakuan Fabian yang cukup tegas pada adiknya yang satu itu adalah sebuah keharusan. Ia tak ingin melihat Reyhan manja, cupu, dan bergantung pada keluarga ketika ada masalah. Sebisa mungkin Reyhan harus mengikuti jejak kakaknya yang telah mandiri, bahkan kalau perlu lebih dari Fabian.
Sebagai anak pertama dari keluarga yang tak lagi terlihat harmonis membuat Fabian harus berpura-pura kuat di depan kedua adik dan juga mamanya. Terlahir dari keluarga yang sederhana, Fabian memantapkan diri dengan ikut berorganisasi. Sejak ia duduk di bangku SMP, Fabian telah mengenyam dunia keorganisasian seperti menjabat sebagai ketua OSIS dan ketua PMR, tergabung di keanggotaan Pramuka dan Forum Anak; saat itu dirinya sangat menggebu-gebu, bahkan di keorganisasian Palang Merah Remaja ia pernah meraih juara nasional sebagai ketua terbaik satu tahun periode kepengurusan. Tanpa ia sadari, seiring berjalannya waktu kehidupan telah membentuk jiwa kepemimpinan Fabian, tak heran, dimana pun Fabian berada ia selalu menempati posisi pemimpin atau paling tidak menjadi Center dari komunitasnya. Beranjak ke SMA, ia kembali mendaftarkan diri sebagai anggota OSIS tapi untuk kali ini hanya sekadar menghabiskan waktu luangnya saja, kemudian ia juga join kembali di keanggotaan PMR dengan tujuan agar bisa bebas upacara di hari senin dan berleha-leha di dalam UKS sebagai penjaga ruang. Euforia Fabian untuk menjadi organisatoris tidak seperti sewaktu SMP dulu. Sekarang ia lebih ingin menikmati kebebasan masa remaja di masa putih abu-abunya.