Blurb:
Fathur Safabian, seorang professional Industri Kreatif yang bekerja di salah satu rumah produksi ternama di ibu kota. Pencapaian Fabian tidak semudah memasak mie instan. Hidup menjadikan Fabian layaknya seorang petualang yang sedang berjuang...
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hidup memberikanku banyak pelajaran Tentang mengejar dan dikejar nyatanya tak selalu bisa beriringan
Ambisi mengajarkan tentang perjuangan Meski tahu akan resiko kehilangan Semua itu adalah bagian dari pengorbanan untuk sebuah pencapaian.
Pencapaian tertinggi Fabian saat ini tidak membuatnya lupa dengan siapa dirinya di masa lalu. Segala pencapaian dalam hidupnya sekarang adalah berkat perjuangan Fabian yang tak bisa dianggap enteng oleh siapa pun juga. Segala pengorbanan; jatuh bangun, bahkan rela kehilangan satu per satu orang yang ia sayang demi sebuah pencapaian adalah hal yang sangat sulit. Dan Fabian telah bijak menentukan sikap meski harus ada yang tersakiti karenanya.
Sudah sepatutnya Fabian bersyukur, ia mendapatkan banyak orang yang masih berjuang mati-matian untuk menuju posisinya saat ini. Berbekal segala kemampuannya, Fabian memutuskan membuat hidupnya lebih bemakna dan berguna untuk sesama, membantu siapa saja untuk mencapai mimpinya di bidang industri kreatif, sebuah fase yang sudah dilalui Fabian lebih dulu pada empat tahun lalu.
Menjadi pelaku industri yang di kenal glamour memberikan Fabian banyak pengalaman baru. Tak melulu tentang syuting-menyunting, kemudian tayang. Namun juga sisi hitam, putih, dan abu-abu dari dunia balik layar telah Fabian salami. Dunia yang menurutnya semua menusia memakai topeng, berusaha memaksa diri untuk tampil sempurna tanpa cacat di depan publik, bersikap manis hanya agar terlihat baik, mendekat hanya untuk menjilat—sungguh hal yang membuat Fabian muak!
Tetapi disisi lain, Fabian begitu mencintai pekerjaannya. Sebagai seorang kreator, Fabian dapat bebas menyampaikan berbagai pesan berdasarkan keresahan dan perasaannya kepada masyarakat luas melalui medium film, buku, dan lainnya. Ia berharap dirinya dapat memberikan dampak baik untuk perkembangan individu bangsa perihal kualitas diri.
Semenjak perpisahan tanpa kejelasan dengan Gisa, disepanjang perjalanan karirnya Fabian mencoba untuk menyembuhkan diri, membuka hati, dan berupaya jatuh cinta lagi. Beberapa wanita telah ia dekati—sebut saja yang pertama, Diva, seorang aktris FTV yang dikenalnya di sebuah proyek live straming bentukan salah satu grup perusahaan raksasa asal Negeri Tiongkok. Kala itu Fabian bertugas sebagai Creative Director dan Monitoring yang mengawasi berlangsungnya program.
"Div, hari ini kamu cukup padat. Sudah makan? Energimu harus diisi" Ujar Fabian .
Diva yang begitu lugu hanya menggelengkan kepala tanpa berani menatap mata Fabian.
"hmm, yasudah ikut saya saja yuk. Saya mau makan bakso Mas Gondrong di dekat stasiun. Katanya disana terkenal enak, yuk!" Ajak Fabian . "Tunggu sini yah" Pinta Fabian tanpa menunggu jawaban dari Diva.
Fabian langsung menyiapkan motornya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka berdiri. Fabian mendekat ke Diva lalu mereka berboncengan motor yang bergerak lambat menuju tempat Bakso Mas Gondrong. Percakapan yang berlangsung di motor hanyalah seputar personal seperti; Kamu tinggal dimana? , Tadi datang jam berapa?, dan sebagainya.
Fabian terlihat santai, namun sebaliknya Diva terasa begitu canggung. Wajar saja, Fabian adalah sosok yang cukup disegani di lingkungan pekerjaannya.
Sesampainya di tempat Bakso, Fabian melakukan hal-hal sederhana namun penuh makna seperti biasanya seorang Fabian—Memesankan Bakso, mengambilkan minumannya, sampai perhatian kecil seperti menyisipkan rambut Diva yang tertiup angin ke telinganya. Tak ada yang aneh bagi seorang Fabian, namun berbeda dengan Diva yang memandangnya sebagai sesuatu yang lebih. Sejak dari situ , mereka berdua semakin dekat. Fabian yang menyadari maksud berbeda dari kedekatan mereka pun merespon positif, ia berusaha membuka hati pertama kalinya lagi untuk Diva.
Tiga bulan menjalani hubungan, Fabian tidak menemukan perbedaan. Hatinya masih saja tertuju pada masa lalunya, dan dirinya masih belum merasakan getaran apapun pada Diva. Tak ada yang kurang dari Diva, ia cantik, berhidung mancung, berkulit putih, bertalenta, dan bertatakrama baik. Entah apa yang dicari Fabian, lambat laun dirinya justru merasa bosan, dan memilih untuk tidak melanjutkan hubungannya dengan Diva sebelum terlalu jauh dan beresiko menyakiti orang lain.
Lalu wanita berikutnya sebut saja Stevi, seorang aktris yang mendekati Fabian hanya untuk memanfaatkannya mendapatkan peran, dan posisi privilege lainnya sebagai seorang aktris. Sayangnya Stevi salah sasaran, Fabian lebih dulu menyadari hal itu justru memanfaatkan balik Stevi tanpa disadarinya. Stevi kerap-kali dikerjai dan dipermalukan oleh Fabian secara sengaja dilokasi syuting. Seperti memaksanya beradegan sulit, memberikan jadwal on cam paling pagi dari yang lain, sehingga terpampang jelas kadar kualitas dan profesionalitas seorang Stevi yang diharapkan itu dapat menyadarkannya dan memperingatinya untuk tidak banyak tingkah! Hal itu Fabian lakukan semata-mata hanya untuk memberikan pelajaran padanya. Sudah bisa ditebak, hubungan mereka tak bertahan lama, kandas sesudah Fabian merasa puas memberikan Stevi kesadaran atas cara hidup yang dipilihnya.
Wanita-wanita berikutnya hanya datang dan pergi, mendekat kemudian menjauh terkurasi dengan sendirinya oleh semesta karena tak mampu menghadapi sosok Fabian. Tak ada tulisan-tulisan manis ataupun puisi dari Fabian untuk mereka, hatinya tak menghendaki. Dari penjelajahannya itu Fabian menyadari satu hal, dirinya masih tidak bisa lepas dari bayangan masa lalu. Sosok wanita baik yang mendekat seperti Diva—hanyalah bentuk manipulasi rasa yang dipaksakan oleh Fabian. Sejatinya, hati Fabian masih dimiliki oleh orang yang sama, seorang Agisa Arafadyah. Dimana dengannya, ada urusan yang belum tuntas, hubungan yang belum jelas, dan kesalahan yang menuntut penjelasan. Sejak saat itu Fabian tersadar, ia memberhentikan upaya pelariannya, ia harus menghadapi dan menyelesaikan. Apapun hasil akhirnya Fabian harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, yaitu; mengikhlaskan.
***
Kembali lagi pada Bandung, Kota yang selalu menarik dirinya untuk menetap hanya untuk lebih dekat dengan sosok masa lalunya. Fabian yang ambisius merasa perlu menemukan alasan lain yang lebih masuk akal untuk dirinya berada di Bandung. Setelah menimbang-nimbang, Fabian memutuskan untuk membangun sebuah wadah kreatif di Kota Bandung; mengumpulkan anak muda-mudi berbakat yang berpotensial pada bidang industri kreatif, khusunya mengembangkan diri di bidang kesenian. Seperti, seni pertujukan, seni rupa atau musik, hingga perfilman.
Setelah melalui proses yang panjang; meeting beberapa kali, negosiasi hingga Fabian bersama rekan barunya yang sedang menggagas sebuah proyek tersebut mendapat dukungan langsung dari beberapa instansi. Beberapa hari lagi mereka akan memulai open casting di salah satu gedung ternama di Kota Bandung.
Sejatinya, tidak sulit bagi Fabian untuk mengajak para pelaku industri profesional terlibat di proyek ini. Apalagi studio rumah produksi tempat kerja Fabian sudah terkenal, dan sekali menyebar iklan open casting di Bandung akan ribuan kepala yang akan mengantre.
Tak hanya terampil dalam pekerjaannya, Fabian juga tidak pelit dalam membagi ilmu dan mengarahkan rekan-rekan lainnya. Tak heran jika Fabian mampu menjadi panutan mereka dalam waktu singkat.
Lagi-lagi Fabian senang, ada sedikit senyum yang terlukis pada wajahnya saat ini. Akhirnya ia menemukan alasan lain untuk berada di Bandung lebih lama lagi nantinya, ada wadah yang akan ia jadikan rumah persinggahan di kala penat dengan hiruk pikuk dunia. Apalagi jika ia harus sekadar menyeruput kopi di Warung Tauhid, Warkop Mang Ujang. Ya, walaupun pada kenyataannya, Fabian kerap kali secara tiba-tiba tanpa sadar hatinya selalu menuntunnya menuju ke sana. Ke arah yang tak pernah menganggapnya ada.