XI - Akhirnya Diterima

16.6K 2.4K 46
                                    

"Gimana nih?"

Aku dan Tiara sedang duduk di lobi gedung psikologi sekarang, bersama mahasiswa lainnya yang sedang menunggu antrian untuk wawancara recruitment kepanitiaan Psyfest. Sistemnya begini, setiap pendaftar diharuskan untuk mengumpulkan form pendaftaran masing-masing. Nantinya, urutan form pendaftaran itulah yang akan menjadi urutan wawancara.

Sementara mahasiswa lainnya sudah tinggal mengobrol menunggu giliran wawancara, aku dan Tiara justru masih sibuk bagaimana caranya untuk mengisi form pendaftaran tersebut. Bagian biodata sih sudah terisi semua. Yang belum terisi adalah bagian SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat), serta pertanyaan-pertanyaan lain mengenai minat dan bakat.

Rasanya aku sudah seriiing sekali mengisi hal-hal semacam ini, sampai aku sendiri bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu saja, tapi entah kenapa setiap kali aku diharuskan untuk mengisi hal yang sama, aku selalu bingung harus menjawab apa.

"Menurut lo kelebihan gue apa, Ra?" tanyaku pada Tiara.

"Ramah, higienis, peduli sama printilan-printilan yang kadang nggak disadari sama orang lain — yang khas emak-emak banget lah pokoknya," jawab Tiara tanpa berpikir panjang. Mungkin karena kami selalu bersama setiap kali mengisi form seperti ini, dia jadi hafal di luar kepala dengan jawaban yang seharusnya aku isi. "Terus friendly, mobilitas tinggi, nggak take too serious to everything, jadi jatohnya enak kalau diajak kerjasama walaupun kadang ngaret..."

"Itu bukannya kekurangan, ya? Yang nggak take too serious to everything?"

"Nggak, lah. Coba lo bayangin kalau lo dapat partner yang serius banget, yang nggak bisa selaw orangnya, pasti bawaannya lo bakal bete dan jadi malas buat kerja," jelas Tiara. "Ya walaupun kalau nggak serius kayak lo gini juga nggak baik, sih..."

Aku menyengir, lalu menuliskan apapun yang dikatakan Tiara padaku.

Namun belum selesai aku menulis, aku mendengar suara cempreng yang sangat kukenal, sedang menyapa Tiara.

Aku menahan napas.

"Hai, Cit," sapa Vanya ketika aku akhirnya mengangkat kepala demi melihatnya.

Coba tebak siapa yang bersama Vanya, yang sekarang baru saja duduk tepat di depanku?!

Nadhif!

Kenapa sih dua orang itu sepertinya menempel terus? Memangnya nggak bisa pisah sebentar saja? Ini kan kampus, fungsinya tempat untuk belajar, bukan tempat untuk pacaran!

"Hai," kupasang senyum lebar, mencoba ramah. "Kamu daftar ini juga, Van?"

Vanya mengangguk. "Kamu..." Cewek itu menghentikan kalimatnya ketika melihat aku yang masih berkutat dengan lembaran kertas. "Buset, ini belum diisi?"

"Nggak sempat ngisi dari kemarin," aku beralasan, lalu menoleh ke Tiara. "Nggak ada waktu. Kita kan sibuk banget ya, Ra?"

"Yup!" Tiara manggut-manggut setuju.

"Terus ini kekurangan gue apa, Ra?" tanyaku, melanjutkan percakapan kami tadi, mencoba mengabaikan pasangan yang sedang berada di depan kami.

"Deadliners."

Dih?!

Aku spontan menoleh ke arah Nadhif yang sekarang sedang balas menatapku tanpa rasa bersalah. Yang kuminta pendapat kan Tiara! Kenapa cowok itu merasa perlu untuk ikut-ikutan?!

"Kenapa? Gue salah ngomong, ya?"

"Ya menurut looo?"

"Salah mulu deh gue kalau sama lo." Nadhif menghela napas.

Once In A WhileWhere stories live. Discover now