XXII - Kunjungan

14.9K 2.4K 103
                                    

"Ra... Bangun, Ra!"

Tiara masih nggak bergerak. Aku geleng-geleng kepala. Bisa ya, dia tidur nyenyak di atas kursi dengan kepala diletakkan di atas meja begini.

"Ra..." Kali ini giliran Wulan yang membangunkan.

"Hng?" Tiara bergumam tidak jelas sebelum akhirnya secara perlahan membuka mata.

"Bangun, Raaa... Habis ini kan kita harus ke Kawan Skizofrenia!" seruku.

"Pusing banget gue..." keluhnya.

"Lo abis ngapain sih emang?" tanya Shafira. "Tumben amat lu tidur di kelas. Biasanya yang tidur kan gue sama Wulan."

"Nggak tidur gue semalam," ujar Tiara sambil menghela napas. "Abis maraton nonton drakor... Sumpah seru banget dramanya. Pas gue udah mau tidur, tau-tau aja udah adzan subuh."

Aku geleng-geleng kepala. Salah satu yang membuatku nggak pernah tertarik dengan drama korea adalah... Karena menurutku, drama korea itu racun. Iya, racun. Sekali kamu nonton, kamu bakal ketagihan nonton episode berikutnya, berikutnya, dan berikutnya sampai tamat. Aku sudah berpengalaman maraton drama korea selama tiga hari berturut-turut dan berakhir sakit selama seminggu karena kurang makan dan tidur. Karena itulah sekarang aku nggak suka dengan drama korea dan sebisa mungkin menghindarinya.

"Kan udah gue bilang, drakor tuh racun, tau gak? Racun!" seruku.

"Lagian lo... Udah tau nonton drakor bikin ketagihan, masih aja nonton diweekdays gini," omel Wulan. "Weekend nanti nontonnya kan bisa."

"Duhhh, nggak bisa!" seru Tiara seraya membereskan barang-barangnya. Tinggal dia yang barangnya belum beres. "Lo tau teori hirearki kebutuhan Maslow, kan?"

"Iya?" Wulan menjawab ragu, belum memahami maksud Tiara sepenuhnya.

"Di urutan ketiga, ada yang namanya kebutuhan rasa cinta dan kebutuhan untuk merasa memiliki dan dimiliki, kan?" lanjut Tiara sambil menutup resleting tasnya. Cewek itu kemudian berdiri. "Nah, gue tuh butuh itu, Lan. Kasih sayang yang nggak dikasih sama cowok-cowok dunia nyata. Makanya... Gue butuh oppa-oppa Korea untuk memenuhi kebutuhan gue!"

"Najis," Aku geleng-geleng. "Pemenuhan kebutuhan yang semu, Ra."

"Nggak apa-apa, yang penting terpenuhi!" Tiara tersenyum-senyum. Sepertinya dia masih terbawa halusinasi dari drama yang baru saja ditontonnya.

"Ih, tapi pemenuhan kebutuhan nomor tiga itu nggak harus cowok, kan?" ujar Wulan. "Kasih sayang orang tua, teman, sama penerimaan dari lingkungan sosial... Itu juga termasuk dalam kebutuhan itu, kan?"

"Hm." Shafira mengangguk. Kali ini kami sama-sama berjalan ke luar kelas menuju parkiran. "Tuh, dengerin, Ra. Nggak harus cowok atau oppa-oppa Korea juga!"

"Bodo amat, ah," Tiara mengedikkan bahu sambil terus berjalan tanpa memedulikan racauan kami. Namun beberapa saat kemudian dia berhenti. "Cit... Zharfan kan mau ikut ke Kawan Skizofrenia tau hari ini!"

"Beneran?" Mataku membulat. Udah lama banget kayaknya sejak terakhir kali aku ketemu Zharfan. "Lo kok tau? Tau dari mana, Ra?"

"Di grup ada... Dia ikutan ngelist di daftar orang-orang yang bisa ikut hari ini."

"Oh..." Aku manggut-manggut.

"Kok cuma 'oh'?" tanya Wulan.

"Tumben," Shafira ikut-ikutan menimpali.

"Ya emang gue harusnya bilang apa?"

"Biasanya lu kan heboh banget kalau masalah si Zharfan, Citraaa!"

Once In A WhileWhere stories live. Discover now