XVII - Tawa yang Menenangkan

15.6K 2.3K 70
                                    

Aku capek sekali hari ini. Jam tiga aku baru selesai kuliah tadi. Setelah itu, aku nongkrong dengan Tiara dan Shafira di kantin FK sampai jam setengah enam. Kemudian kami pergi ke kosku untuk menonton Cinta dan Rahasia sampai jam tujuh, baru setelah itu kami pergi lagi untuk mencari makan malam.

Dan aku baru sampai di kosan jam sembilan.

Pulang jam sembilan, padahal sebenarnya nggak ada kegiatan berfaedah yang kulakukan sejak jam tiga tadi. Dan jangan tanya kenapa aku bisa merasa capek sekali, karena sungguh, akupun tak tahu jawabannya.

Kurebahkan tubuhku di atas kasur sejenak. Lima meniiit saja. Setelah itu, aku akan beranjak dari kasur dan menyapu kamar. Tadi aku melihat ada sehelai rambut di lantai, tanda lantai kamarku harus disapu secepatnya.

Tapi sebelum itu... Boleh dong, kalau aku main HP dulu? Siapa tau ada chat masuk dari Mama atau chat-chat penting lainnya...

Aku mengernyit begitu melihat ada banyak sekali chat masuk di grup kelas, juga tiga puluh tujuh chat belum terbaca dari multichat yang berisikan aku, Nadhif, dan Nada. Multichat untuk tugas psikologi perkembangan itu.

Entah kenapa aku punya firasat buruk tentang ini.

Baca, enggak, baca, enggak... Sumpah, aku malas sekali kalau tahu apa penyebab ribut-ribut kali ini. Pasti masalah tugas. Dan aku sedang benar-benar tidak dalam mood yang baik untuk mengerjakan tugas. Aku belum mandi, membersihkan kamar, dan argh... Pokoknya malas banget deh kalau harus mengerjakan tugas!

Nadhif Ramadhan is calling...

HAH! Kalau Nadhif sudah menelpon, pasti urusannya genting!

Segera kuangkat telpon itu.

"Ya, Dhif?"

"Cit, udah baca chat belum?"

"Belum. Gue baru nyampe kosan nih. Kenapa emang?"

"Bu Ema tiba-tiba nggak bisa ngajar hari Kamis, terus beliau minta ganti hari jadi besok. Kan jadwal kelompok kita yang presentasi, Cit... Lu udah nyicil buat bagian lo belum?"

"Belum, lah," jawabku langsung. Aku berharap pemakaian kata "lah" ku berguna supaya Nadhif menyadari bahwa tak ada gunanya mengharapkan aku untuk bisa mengerjakan tugas sejak H-berhari-hari sebelum deadline. "Emangnya lo udah?"

"Udah... Tapi baru setengah. Si Nada juga belum katanya."

"Kita tuh temanya apa, sih?"

"Perkembangan sosioemosi pada fase kanak-kanak madya Cit," jawab Nadhif. Intonasinya terdengar seperti orang yang sedang menahan gemas — bukan gemas gemay lho ya, tapi gemas karena aku bahkan tak tahu tema yang kita dapat untuk tugas kita.

"Ini refrensinya harus pakai buku, ya? Kalau pakai jurnal gitu boleh nggak sih?"

"Boleh, kok. Lo nggak ada bukunya emang?"

"Nggak ada..."

"Gue ada empat buku, nih. Yang dua udah gue pakai, lo pinjam aja," ujar Nadhif, lagi-lagi membuatku terperangah.

Tuh cowok gila kali, ya? Satu buku saja sudah berhasil membuatku hampir muntah, gimana ceritanya dia bisa punya empat dan berniat untuk membacanya semua?!

"Lu ngapain beli buku banyak-banyak, Dhif?"

"Buku perpus, Cit... Yang gua udah baca tuh yang punyanya Hurlock sama Papalia. Mau nggak lu?"

"Mau!" sahutku spontan. Nadhif adalah harapan terakhirku.

"Ya udah, lu buruan ke kosan gue, ya. Tau tempatnya, kan?"

Once In A WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang