XXIX - Sudah Jelas

14.7K 2.1K 57
                                    

"Lo putus?!" Tiara melotot setelah mendengar kalimat 'gue putus sama nadhif' yang baru saja kuucapkan.

Setelah pulang dari rumah sakit tadi, Nadhif masih berbaik hati mau mengantarku sampai ke kosan. Walaupun wajahnya itu masih keruh dan mulutnya masih bungkam. Begitu Nadhif pergi dari kosku, baru aku tancap gas langsung ke kos Tiara untuk menceritakan segalanya. Tanganku kan sudah lengkap lagi sekarang. Aku sudah bisa mobile ke manapun aku mau tanpa mengandalkan gojek maupun orang-orang di sekitarku.

Aku melanjutkan bercerita tentang kronologi putusku dengan Nadhif yang tadi belum selesai kuceritakan pada Tiara. Beberapa kali dia geleng-geleng kepala. Di lain waktu dia berdecak. Sesekali malah menghela napas, seperti frustrasi sekali dengan kelakuanku.

"Kocak, dah!" Tiara geleng-geleng kepala. Dari ekspresi yang dia tampakkan, sepertinya cewek itu siap menerkamku kapan saja . "Seminggu lho, Cit. Seminggu!"

"Lho, udah seminggu, ya?" Aku justru balik bertanya. "Gue malah baru sadar. Lama juga, ya? Padahal gue ngerasanya kayak cuma sebentar."

"Itu karena lo ngehindar mulu dari Nadhif, jadi momen lo sama dia dikit banget walaupun lo udah jadian seminggu," Tiara meneguk air mineral dari botolnya. Cewek itu menatapku. "Lo tau nggak sih masalah dalam hubungan lo sama Nadhif itu apa?"

"Apa?" Aku balas menatapnya.

"Kalian tuh kurang komunikasi!" Tiara meletakkan kembali botolnya di atas lantai. "Kalau kata dosen Psikologi Komunikasi, komunikasi kalian tuh nggak efektif. Banyak hambatan. Makanya pesan yang kalian sampaikan susah dimengerti sama receiver."

Hah! Di saat seperti ini sempat-sempatnya Tiara ngoceh tentang Psikologi Komunikasi? Aku sedang dalam mood yang buruk untuk membicarakan mata kuliah yang menyisakan trauma mendalam bagiku itu. Nilai Psikologi Komunikasi-ku jelek di UTS kemarin.

"Ya... Tapi gimana mau efektif kalau yang satu menghindar, yang satu langsung emosi sebelum dikasih penjelasan lengkap," gumam Tiara, lebih pada dirinya sendiri. Dia lalu menatapku sambil menyengir lebar. "Tapi nggak apa-apa, lah. Kan lumayan, nanti kalau ada yang nanya 'mantan lo berapa?' lo jadi bisa jawab sekarang. At least ada angkanya gitu, lho. Nggak nol kayak gue."

Aku tertawa. Yah, benar juga kata Tiara. Ambil saja sisi positifnya. Sekarang kan aku jadi punya mantan. Itu berarti, setidaknya sekarang aku pernah punya kisah percintaan. Aku pernah menyukai orang yang balas menyukaiku pula. Nggak jomblo dari lahir lagi.

"Tapi lo kok masih bisa ketawa ya, Cit?"

"Maksudnya?"

"Ya... Bukannya orang kalau habis putus tuh nangis-nangis gitu, ya?" tanya Tiara. "Harusnya gitu, kan? Kalau orang normal?"

Aku merengut. "Maksud lo, gue nggak normal gitu?"

Tiara mengangguk tanpa dosa. Aku melempar bantal ke mukanya.

"Serius, lo nggak ada sedih-sedihnya apa?"

"Ya sedih," jawabku. "Marah juga. Pengin maki-maki Nadhif juga. Padahal ini semua juga gara-gara kelabilan gue kan ya..."

"Kan..."

"Tapi lo beneran suka nggak sih sebenarnya sama Nadhif?" tanya Tiara. Cewek itu menatapku serius. "Beneran... Suka?"

"Ya iya, lah!" seruku. "Gue deg-degan kalau ada di dekat dia sampai kayak orang bego gini... Apa lagi coba namanya kalau bukan suka?"

"Iya, sih..." gumam Tiara.

Kami kemudian saling diam. Tiara kembali asyik dengan ponselnya sementara aku sibuk memandang langit-langit kamarnya. Ada jaring laba-laba di salah satu sudut yang belum sempat dibersihkan Tiara. Dasar. Kalau aku jadi dia, aku nggak bakal bisa tidur dengan tenang jika harus sekamar dengan hewan, walaupun itu laba-laba yang letaknya di ujung kamar.

Once In A WhileWhere stories live. Discover now