4. Masih Tanda Tanya

6.6K 727 40
                                    

Kutatap manik mata Ferly bingung. Sedari tadi lelaki itu tak membuka mulutnya lagi. Sejak di pesta ia terus memasang ekspresi datar. Membuatku serba salah.

Ferly, aku tak ingin seperti ini. Kurindu kebersamaan kita. Aku rindu semua tentangmu. Mengapa kau buatku bingung dengan perubahannu yang tak menentu. Terlihat peduli dan kadang terlihat membenci.

Penuh keyakinan kubuka bibirku. Aku tak kuasa memendam semua pertanyaan membingungkan ini.

"Fer, sebenarnya apa maksudmu tadi. Anak kita kan sudah meninggal. Kenapa kau bilang pada ibumu kalau--"

"Tutup mulutmu!" teriaknya dengan tatapan nyalang. Membuat jantungku berdetak dengan keras. Aku tak pernah dibentak olehnya seperti ini. Tatapannya juga begitu mengerikan.

Ferly berjalan mendekat ke arahku terus menatapku dengan tatapan mematikan.

"Yah, bagimu anak kita sudah mati karena dia cacat. Kau membuang anak kita. Ibu macam apa dirimu?" Ferly mencengkeram bahuku keras. Ya, Tuhan ini sakit sekali. Dia tak pernah semurka ini dulu. Ferly selalu hangat. Aku benar-benar takut.

"Fer, sakit," rintihku sambil mencoba melepaskan tangannya dari bahuku.

"Sakit? Ini tak seberapa daripada sakit di hatiku. Apalagi, rasa sakit yang diderita anakku. Kenapa dulu aku bisa memilih istri seperti dirimu dulu. Kau tak punya hati. Kau buang anak kita," ujar Ferly dengan suara rendah. Disetiap katanya terdengar begitu menyakitkan. Tatapannya bukan tatapan tajam lagi. Namun, tatapan penuh kekecewaan.

"Fer, aku tak mengerti," lirihku dengan suara tercekat.

Ferly melepaskan cengkeramannya. Ia lalu tertawa.

"Bagian mana yang tak mengerti Sayang? Kau membuang anak kita itu kenyataannya. Kau memang pandai berbohong. Kau mencariku karena selingkuhanmu itu sudah mati, 'kan? Kau datang mengatakan kalau kau merindukanku dan mengatakan anak kita sudah tiada. Dasar, Pembohong!"

Tuduhan macam apa itu. Aku tak mengerti Tuhan. Selingkuh. Untuk apa? Aku sudah punya suami sebaik Ferly. Anakku tak mungkin aku buang. Sampai sekarang saja aku masih memikirkan kepergiannya. Kenapa berujar lain.

"Fer, aku tak mungkin selingkuh. Anak kita juga sudah tiada. Dokter sendiri yang mengatakannya. Aku koma, Fer. Sampai sekarang aku tak tahu makam anak kita. Kakakku tak mau memberi tahu," jelasku apa adanya. Aku benar-benar tak mengerti. Kakakku tak mau memberi tahu. Katanya takut kalau aku sedih. Sungguh aku tak membuang anakku.

"Hebat. Omong kosong. Sejak kapan Nyonya Irish Canne Fernandez punya kakak?" Ferly tersenyum miring. Ya Tuhan. Aku lupa kalau Ferly tak tahu siapa kakakku. Aku tak berani menjelaskan siapa kakakku. Aku tahu karena mereka saling membenci. Pasti Ferly akan semakin murka.

"Maksudku temanku yang sudah kuanggap sebagai kakak," bohongku tak yakin. Maafkan aku Ferlu, aku bohong masalah sebesar ini. Aku takut kau mengetahui hal ini dan semakin membenciku. Tuhan, berkati aku.

"Waow. Kakak? Kakak yang mana? Kakak yang kau temani setiap malamnya di apartemennya atau di hotel? Kakak yang kau panggil, Sayang. Berpelukan mesra di depan umum? Yang itu, 'kan? Yang memberimu banyak uang." Ferly menunjuk-nunjuk dahiku.

Aku menggeleng. Ferly, percayalah padaku. Aku tak mungkin selingkuh. Ingin kuberkata seperti itu. Namun, hati suamiku telah diliputi kebencian.

"Fer, tidak. Aku bukan wanita seperti itu. Aku mencintaimu. Tak mungkin aku mengkhianatimu. Kalau aku salah, aku minta maaf," terangku sambil bersujud di kakinya. Aku menangis.

Ferly berjongkok dan melepaskan tanganku yang memegangi kakinya.

"An, berdirilah. Jangan bersujud seperti ini. Semarah-marahnya aku padamu, aku tak suka kau bersujud di kakiku. Banyak hal yang kurasakan saat ini," jelas Ferly sambil memegang pipiku lembut.

"Ada sakit, benci, rindu, sayang yang menjadi satu. Sejujurnya aku juga tak suka berkata kasar kepada wanita. Apalagi, kepada istriku yang kucintai. Sampai sekarang aku masih mencintaimu. Namun, setiap melihatmu. Aku melihat setiap pengkhianatan besar itu. Kau buang anak kita dan kau selingkuhi aku," lanjutnya dengan suara pelan.

Sungguh Ferly tak mungkin diriku menduakanmu. Kau itu pangeranku, cintaku, dan hidupku. Sakit sekali setiap hari menjalani hidup tanpamu. Sekarang begitu bertemu, kenapa seperti ini?

"Fer, aku tak tahu caranya agar kau percaya padaku. Namun, tolonglah beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku." Aku menatap Ferly dengan penuh harap. Manik mata elang itu begitu gusar. Ferly sepertinya tengah menimang. Aku yakin di hati Ferly pasti tetap ada ruang untukku.

"Tidak ada kesempatan untukmu. Kenapa dulu saat kau mengkhianatiku, kau tak berpikir dahulu kalau itu bisa menghancurkan pernikahan kita."

"Fer, hanya kau yang aku punya. Keluargaku sudah tiada semua. Tolong jangan seperti ini padaku," lirihku senantiasa menatapnya dengan air mata yang terus mengalir.

"Kau sudah gagal menjadi istri. Sebenarnya pun sudah gagal menjadi seorang ibu. Namun, darahmu tetap mengalir di anakmu. Maka tunjukkan kau bisa menjadi ibu yang baik karena tidak ada yang namanya mantan ibu. Itu bukan kesempatan, tapi pembuktian kalau kau memiliki hati seorang ibu."

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Aku akan membawa anak kita untuk tinggal bersama. Kalau kau bisa menjadi ibu yang baik untuknya. Maka aku akan memperlakukanmu dengan baik. Bagiku kau sudah bukan istriku lagi karena semuanya sudah berahkir." Ferly menatapku serius. Ini terasa sakit sekali. Ferly tak menganggapku istri lagi. Hanya istri di atas nama. Lalu, benarkah anakku masih hidup? Kalau benar kenapa kakak berbohong? Semua masih menjadi teka-teki untukku.

Tbc...

Maaf, dikit. Masih edit RH. Ya ampun ini mata sampai merah. Yang belum baca RH cuss baca sebelum dihapus.


Shadow Memory (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang