5. Perasaan yang Aneh

6.4K 750 42
                                    

Langit kian menggelap. Sepertinya hujan akan segera tiba. Aku telah berdiri di taman sejak tadi bersama Ferly. Menunggu seseorang yang tak kuketahui siapa.

Aku tak berani bertanya. Takut Ferly marah lagi. Apalagi, sedari tadi raut wajahnya terlihat masam. Manik mata itu juga gusar.

Kulihat jam ditanganku sudah menunjukkan jam empat lebih. Namun, tak ada niatan Ferly merubah posisi. Sejak tadi ia menyandarkan punggungnya di pohon mangga.

"Ayah!" teriak seorang anak perempuan yang didorong dengan kursi roda oleh wanita yang berparas ayu. Namun, aku merasa tak asing dengan wajah itu. Sorot mata tajam, bibir yang terangkat menunjukkan kepongahannya. Siapa dia? Rasanya aku tak asing. Namun, sayangnya aku tak mengingatnya.

Ferly berlari ke arah anak itu. Dia berjongkok menggenggam kedua tangan anak itu dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Sayang, ayah merindukanmu. Kau baik saja-saja, 'kan?" tanya Ferly lembut yang langsung dibalas dengan anggukan.

"Fer, Erliese kemarin juara satu menyanyi. Kenapa kau tidak datang?" tanya wanita itu dengan nada bicara sebal.

"Maafkan ayah tak bisa datang. Sebagai gantinya ayah penuhi keinginan Erliese. Erliese ingin bertemu dengan bunda, 'kan?" Ferly mengusap pipi anak itu.

"Iya, benar. Kita mau menyusul bunda ke London?" tanya Erliese antusias dengan tatapan berbinar.

Ferly menggeleng.

"An, kemarilah!" panggil Ferly sambil melambaikan tangannya. Aku berjalan masih penuh dengan kebingungan.

"Ini bundanya Erliese. Cantik, 'kan?" Ferly menggenggam tanganku, lalu ia satukan tanganku dengan tangan Erliese.

"Kalau dilihat seperti ini. Erliese begitu mirip denganmu," ujar Ferly padaku.

Benar sekali anak perempuan ini begitu mirip denganku. Hanya bola matanya yang seperti Ferly. Benarkah dia putriku? Aku tak tahu harus melakukan apa. Senang atau sedih, jika anak ini memang anakku. Senang bertemu dengannya, sedih karena baru tahu anakku masih hidup dan dia tak mendapat kasih sayang dariku. Air mataku menitik. Kulihat terus dirinya dari bawah sampai ke atas. Kupeluk Erliese. Begitu nyaman rasanya. Ada suatu hal yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

"Bunda, kenapa tidak pernah pulang?" tanya Erliese kepadaku dengan raut wajah sedih. Membuat hatiku semakin sedih Ya,  Tuhan, jika dia anakku. Maafkan aku karena tak merawatnya. Sungguh aku tak tahu.

Bibirku terasa kelu. Aku bingung ingin menjawab apa.

"Sayang, Bunda pasti ingin pulang. Namun, Tuhan baru mengizinkan sekarang. Yang penting kita bisa tinggal bersama sekarang," terang Ferly halus sambil mengusap-usap surai Erliese.

"Fer, terus kau mau mengambil Erliese dariku? Aku yang membesarkannya, Fer?" Wanita itu menggeram tak suka.

"Lexy, tolong mengertilah. Aku sangat berterima kasih karena kau mau merawat putriku seperti anakmu sendiri. Lex, tolong biarkan Erliese tinggal bersama kami. Sebagai gantinya aku akan menuruti apapun yang kau mau," pinta Ferly dengan nada memohon.

"Aku kehilangan anakku dan suamiku karena kecelakaan. Semenjak kau menitipkan Erliese kepadaku, aku merasa senang sekali. Aku sudah menganggapnya seperti darah kandungku sendiri. Aku tak pernah tertarik pada harta, Fer. Kalau aku gila harta, tak kubiarkan menduduki singasana. Aku adalah cucu tertua," tegas Lexy dengan tatapan penuh kilatan amarah. Wanita itu sepertinya benar-benar menginginkan Erliese.

"Lex, kau juga boleh menemui Erliese setiap hari, tapi biarkan dia tinggal bersama kami. Tolong." Ferly menyatukan kedua tangannya di depan dada sambil menatap wajah itu sayu.

"Baiklah," putus Lexy dengan suara serak.

***

K

usisir rambut Erliese yang panjang lembut. Dulu waktu aku kecil, rambutku sepanjang ini. Namun, waktu beranjak dewasa aku lebih suka rambut pendek. Sekarang malah panjang lagi.

Erliese tampak begitu senang bersamaku. Aku benar-benar bahagia memilikinya. Namun, aku masih bingung dengan teka-teki ini. Bagaimana bisa anakku selamat, padahal aku mengalami pendarahan yang begitu hebat. Kakakku juga mengatakan kalau anakku telah meninggal. Aku masih tak menyangka kalau dia berbohong. Mana mungkin dia tega melakukan hal itu.

"Ayah!" teriak Erliese begitu melihat Ferly. Suamiku tengah menyandarkan punggungnya di dinding dengan senyuman manis. Ia pun berjalan mendekat ke arah kami.

"Er, udah makan?" tanya Ferly sambil memberikan cokelat dari sakunya.

"Sudah, disuapin Bunda." Erliese memelukku erat.

"Emangnya Bunda masak apa?" Ferly sejak tadi terus tersenyum. Tak ada raut masam. Semoga saja ini bertahan lama karena aku tak kuasa melihat raut wajah Ferly yang lain. Ekspresi yang begitu mengerikan.

"Ayam panggang sama sup. Enak banget, Ayah." Erliese mengacungkan ibu jarinya. Ferly hanya mengangguk.

"Masakan Bundamu memang selalu enak. Jadi, Erliese jangan sedih lagi. Bunda sudah bersama kita."

Erliese mengangguk.

"Ayah, aku pengen punya adik. Biar nanti aku punya temen main." Erliese berujar dengan penuh harap.

"Kamu sudah punya banyak adik sepupu. Ada Frray, Ferra, Glory, dan Zio. Ferra, Glory, dan Zio masih bayi. Kalau Frray udah TK besar. Nanti ayah kenalin sama adik sepupunya Erliese," jelas Ferly dengan santai.

Aku baru tahu aku sudah punya banyak keponakan. Bahkan Erliese juga tak tahu kalau dia punya sepupu. Ferly menyembunyikan identitas Erliese. Semuanya seperti puzzle yang sulit dimengerti. Membuatku sakit kepala.

"Maunya adik kandung. Biar rumahnya rame."

"Kamu maunya punya adik perempuan atau laki-laki?" Ferly menatap wajah Erliese lekat.

"Satu perempuan dan satu laki-laki," terangnya antusias.

"Bilang sama Bunda, sana! Bundanya mau enggak hamil lagi."

Aku yang mendengar hanya terdiam saja. Takut salah menjawab, lalu Ferly murka lagi.

Tbc...
Sabar kebuka masalahnya pelan2.
Yuk, follow2an. IG: @lanavayudia

 

Shadow Memory (LENGKAP)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ