10. Hilangnya Kabut Kelabu

6.8K 721 67
                                    

Puter lagunya sambil dibaca masuk nih.

Kebencian hanya membawa lara, jadi janganlah engkau membenci karena kau akan terjerumus ke rasa sakit.

Senja telah berlalu. Kini fajar telah menyapa dunia. Kulihat Ferly masih setia melingkarkan tangannya untuk memelukku. Kupandangi wajahnya yang begitu pucat. Suamiku ini begitu keras kepala. Apa susahnya minum obat, tapi dia tak mau.

Kupegang dahinya yang semakin panas. Kalau seperti ini terus sakitnya bisa bertambah parah.

"Fer," lirihku sambil menepuk pelan pipinya.

"Apa?" tanyanya sambil membuka matanya yang merah dengan suara serak.

"Aku buatkan sup. Kau makan dulu, ya. Terus minum obat kalau tidak mau periksa ke dokter," ucapku penuh harap agar dia mau makan. Aku tak sanggup kalau melihatnya kesakitan.

"Suapin, ya," balas Ferly sambil mengenggam tanganku.

Aku hanya mengangguk.

***

Semangkuk sup kusajikan untuk suamiku. Sudah lama tak memasakkan Ferly sup. Padahal, lelaki itu suka sekali dengan yang namanya makanan berkuah. Kuharap dia menyukainya.

Kutengok kamar anakku ternyata dia sedang menonton televisi. Aku tersenyum melihat dirinya yang terlihat bahagia. Kemudian, aku melangkah kembali ke kamar dengan satu baki yang memuat mangkuk sup, gelas, dan obat untuk Ferly.

Ferly tengah menyandarkan tubuhnya di papan tempat tidur seraya memejamkan matanya. Pasti dirinya masih merasa pusing.

"Fer, ini supnya," ucapku seraya menyendok untuk menyuapinya. Ferly membuka matanya, lalu mengangguk. Dirinya langsung memakan sup itu dengan raut wajah datar.

Apakah tak enak, pikirku. Dirinya diam saja. Terus mengunyah setiap aku menyuapinya. Dulu dia sering berkomentar, tetapi sekarang kenapa hanya diam saja. Membuatku bingung sekali.

"Fer, tak enak kah?" tanyaku takut kalau makanannya keasinan. Ferly tidak suka, jika terlalu asin.

"Tidak, ini enak. Masakanmu selalu enak," jawabnya, lalu tersenyum. Dua ibu jarinya, ia acungkan. Aku tersenyum senang, jika begitu.

"Aku pikir tidak enak. Kau dari tadi diam saja," ungkapku seraya menatap manik mata Ferly lekat.

"Aku diam hanya karena memikirkan sesuatu," terangnya dengan raut wajah kusut.

Ada apalagi? Ia memikirkan apa. Sepertinya aku salah bertanya. Ferly sedang sakit dan aku menyinggung yang tak harusnya dibahas.

"Jangan memikirkan yang berat-berat. Kau sedang sakit," kataku seraya menepuk pundak Ferly pelan.

"Dari dulu aku pikir aku sangat egois. Dulu aku menyalahkan sahabatku atas luka yang kuterima. Bertahun-tahun aku membenci Justin," ucap Ferly menggantungkan. Aku bingung apa maksudnya. Justin? Apakah Justin adik iparnya yang ia maksud. Mengerti Ferly seperti menyusun rubik yang harus jeli.

"Justin itu suaminya Afra? Memangnya ada apa?" tanyaku kebingungan.

"Dulu aku punya kekasih namanya Allea. Allea itu mencintai Justin, begitupun sebaliknya. Namun, Justin tak tahu Allea kekasihku. Allea pergi meninggalkanku untuk bersama Justin. Namun, kenyataannya dia tak bersama Justin. Dirinya menjalin hubungan dengan kakaknya Justin, bahkan mereka punya anak. Kupikir Justin merebut Allea dariku dan itu anak mereka. Hidupku penuh dengan kebencian kepada Justin." Ferly mengembuskan napas pelan.

"Lalu, kau masih mencintai Allea itu?" Suaraku melemah. Jika iya, maka selama ini aku salah kalau terus mencari Ferly. Hubungan kami hanya nama saja. Hanya aku yang mencintainya.

Ferly menatapku lekat. Kemudian, ia menggeleng.

"Tidak. Dulu aku meninggalkan semua yang kumiliki untuk bersama Allea. Namun, gadis itu meninggalkanku. Semua sia-sia. Aku pergi menjauh dari negara ini. Untuk sekolah dan kerja hingga aku bertemu denganmu," jelas Ferly sambil mengambil mangkuk yang tersisa sedikit nasi di tanganku. Ia letakkan di atas nakas. Kemudian, digenggamnya erat tanganku.

"Awalnya aku menikahimu karena sifat penyayangmu mirip Allea. Kalau dari wajah sungguh beda sekali. Kau berkali lipat lebih cantik darinya. Namun, bayangan Allea selalu ada menghantui hariku," terang Ferly  dengan suara yang semakin melemah. Hatiku terasa sakit sekali mendengar penjelasannya. Ternyata aku hanya bayangan mantan kekasihnya. Dia tak pernah melihat sosok diriku. Ini benar-benar menyakitkan.

Air mataku tumpah untuk kesekian kalinya. Ternyata ini lebih menyakitkan dari kata-kata kasar Ferly sebelumnya.

"Tolong jangan menangis!" ujar Ferly sambil menghapus air mataku. Dipegangnya pipiku erat.

"Aku belum selesai bicara. Memang awalnya aku melihatmu dengan sosok orang lain. Namun, pada akhirnya aku mencintaimu tanpa ada bayangan siapapun. Sungguh sampai saat ini aku sangat mencintaimu," jelasnya dengan tatapan serius.

"Aku dulu pergi karena kakekku sakit dan mengancam kalau aku tak mau belajar bisnis meneruskan usaha keluaraga, maka dia akan melakukan apa saja untuk menyakitimu. Kakekku tahu kalau aku sudah menikah. Beberapa bulan setelah menemani kakekku berobat. Aku kembali untuk menjemputmu untuk tinggal bersama kakek. Namun ...." Ferly menggantungkan kata-katanya membuatku semakin ketakutan atas penjelasannya.

"Kenapa?" tanyaku sambil mengguncang bahunya.

"Aku melihatmu bersama Axel. Aku tak jadi menemuimu. Namun, aku selalu memantau dan melihatmu sering bersama Axel membuat hatiku terasa sakit. Aku pikir kau selingkuh. Aku pernah melihatmu keluar dari apartemen Axel. Pernah juga melihatmu bersama Axel ke hotel dan aku pernah melihatmu menerima uang darinya."

"Yang kau lihat memang benar. Namun, tak seperti yang kau pikirkan. Aku ke apartemen kakakku karena mengidam ingin dibuatkan kue seperti yang ibu buat. Masalah ke hotel itu juga hanya ingin menemaninya menemui teman perempuannya biar kekasihnya tak salah paham. Kalau masalah uang dari dulu kakakku sering memberiku uang, dia akan marah jika aku menolaknya. Sungguh Axel kakakku, Fer."

"Iya, seharusnya aku percaya padamu. Kalau dilihat iris matamu sama dengan milik Axel. Maafkan aku yang terlalu berpikir sempit. Aku malah pergi meninggalkanmu. Setelah itu, aku kembali ke negara ini karena mendengar kabar adikku menikah dengan Justin. Di situ aku tak terima dan ingin menghancurkan hidup Justin. Hidupku penuh kebencian. Semua yang baik terlihat menjadi buruk di mataku. Maafkan, aku." Ferly memelukku erat.

"Aku terlalu egois selama ini. Kau Irish Canne, perempuan yang begitu baik, penyayang, dan sabar. Bukan Allea yang meninggalkanku dengan luka. Aku istriku yang mengajarkan banyak hal untuk tetap tersenyum. Namun, aku malah menyia-nyiakanmu. Aku juga malah percaya pada Axel kalau kau membuang anak kita ke panti asuhan. Seharusnya aku tahu Axel membenciku. Dia yang membuang anak kita, bukan kau."

Aku menangis mendengar penjelasan Ferly. Kakakku yang sangat kusayangi ternyata dialah yang membuang anakku. Tuhan. Maafkanlah kakakku. Beri dia tempat di sana. Meski aku sedih, tetapi dia kakakku.

"Aku memafkanmu, Fer."

  Tamat bagaimana atau mau lanjut????
Yang udah baca PS ni bisa tahu alasan Babang balik ke negara ini. Jadi, emang dia udah punya rencana buruk dari jauh hari.

Shadow Memory (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang