7 - The Hidden

5.1K 1K 278
                                    

Yang tersembunyi

.

.

.

Yoongi tak sanggup bila harus melihat wajah ketakutan Jimin saat mendengar berita yang baru saja didapatnya dari kantor polisi tadi. Menceritakannya hanya akan membuat Jimin kembali tertekan, dan Yoongi rela menukar apapun yang ia punya demi tidak melihat raut gelisah itu lagi.

Dia tidak bisa menerka bagaimana perasaan Jimin yang akan kembali tercabik bila tahu bahwa pesan di kaca kamar mandi itu bukanlah sekedar pengekspresian konyol seorang penggemar, melainkan pesan peringatan yang benar-benar ditujukan untuknya, klaim kepemilikan yang ditulis menggunakan darah. Dan Yoongi, yang menyadari kebungkaman adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan, memilihnya sebagai jalan keluar dari segala bentuk kerisauan di dalam benaknya. Dia tidak bisa memberitahunya, walau mungkin informasi ini sangat penting untuk Jimin. Bila kesehatan mental Jimin menjadi resiko, Yoongi akan mundur.

Persis seperti yang dilakukannya kini.

Hyung, darimana saja seharian ini?”

Yoongi tak terbiasa untuk berbohong. Dia selalu hidup dalam kejujuran sekejam apapun itu. Maka, detik ini rasanya menjadi detik terpanjang yang akan Yoongi ingat, malam di mana tatapan penuh tuntutan Jimin seakan-akan sanggup melolosi tulangnya, menuntut kebenaran yang mati-matian dia tutupi. Sambil memberinya waktu untuk berpikir, Yoongi memperlambat gerakan melepas tali sepatunya.

“Hmm, ketemu teman lama,” jawab Yoongi.

“Memang kau punya teman selain kami?” Jimin menyahut dengan setengah bercanda.

“Kenapa?” kata Yoongi, meletakkan sepasang sepatunya di dalam rak kecil di samping pintu dan menghambur masuk tanpa menghiraukan Jimin. “Kau tak suka kalau aku punya teman selain dirimu?"

Alih-alih termakan jawaban ketus Yoongi, Jimin justru berbalik dan mengekor di belakang, mengais langkah yang entah bagaimana terdengar ringan seakan-akan mencerminkan perasaan hatinya yang tanpa beban. Barangkali anak itu sudah hampir melupakan insiden pesan di kamar mandi, begitu pikir Yoongi, yang sama sekali tak membuahkan hasil untuk meringankan kecemasan dalam hatinya. Sekarang Yoongi semakin resah berada di dekat Jimin. Dia ingin memberitahukan hal yang sebenarnya pada Jimin, tapi kepalang tak tega untuk merusak suasana hatinya.

Hyung,” kata Jimin, menyela langkah lebih cepat dan mengekori Yoongi hingga ke ruang tengah. “Aku hanya penasaran kemana kau pergi. Bukannya di studio tadi kau bilang ingin segera pulang karena perutmu keroncongan? Kau mengeluh soal makan siang yang dibelikan Hyung-nim sebab menunya tak sesuai seleramu, lalu memutuskan untuk tidak memakannya dan malah memberikan bagianmu untuk Jungkook. Karena kupikir kau belum makan dari tadi, jadi aku―Ah, jangan bilang kau ….”

Jimin berhenti tepat di samping televisi, sementara Yoongi yang hendak melewati sofa-sofa dan menuju dapur jadi ikut mematung.

“Semalaman ini kau mencari makan, ya?” tukas Jimin, setengah tak percaya. Alisnya naik begitu tinggi sampai tertutup rambut, memandang Yoongi yang kini menatap balik kepadanya dengan datar. “Ah,” kata Jimin. “Sayang sekali, Hyung, padahal aku sudah―”

“Jim, sudah cukup! Lanjutkan besok saja!” Yoongi tahu-tahu menyela tajam. 

“Wow, santai, Bung! Sebenarnya ada apa denganmu?” kata Jimin, memandang Yoongi dan merasa ada yang tidak beres dengan nada bicaranya yang terkesan marah. “Aku hanya bertanya, dan Hyung hanya perlu menjawab. Memang pertanyaanku serumit apa sampai kau merasa terganggu begitu?”

𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓𝐒 Where stories live. Discover now