2

839 114 21
                                    

Aku melihat ruang gelap kosong, bahkan terlihat sekali tak terjamah karena banyaknya jaring laba-laba yang terlihat baik-baik saja. Tidak ada bekas adanya manusia. Bahkan bangkunya kotor berarti tempat ini benar-benar selalu kosong. Lalu kenapa Tio bilang ada yang sempat keluar dari sini?

Prang.

Sial. Kaca kembali terpecahkan. Sama seperti tadi. Surat itu berupa batu yang tertutupi kertas. Aku membentangkan kertas itu. Membaca tulisan rapih itu dalam hati, sama sepertiku Yuji juga membacanya dengan raut tak terbaca.

'Saat bulan purnama berada di atas kepala, maka jangan pernah percaya serigala meski dia sekaum denganmu. HOD.'

Siapa dalang semua ini? Dia hanya menuliskan sebuah inisial. Dan aku tahu kepanjangan HOD. Hide or die. Itu nama permainan yang sedang kami selidiki. Tapi apa maksud kata-kata di kertas itu?

"Apa menurutmu Tio berbohong pada kita?" aku melihat kearah Yuji. Wajahnya tampak mengeras. "Apa kamu akan percaya pada isi surat itu lalu memilih untuk tak percaya pada teman sendiri, Ana?" aku terdiam, Yuji benar tapi hatiku bimbang. Surat itu bilang bahwa aku tidak boleh terlalu percaya pada siapapun biarpun itu teman sendiri.
____________________________________

"Bagaimana? Apa ada hasil?" aku menggelengkan kepala saat Qinta bertanya. Aku menatap menerawang ke arah pintu. Kenapa Pak Handoko tidak datang juga? Apa dia terlambat? Hais, coba kalau siswa yang terlambat sudah satu kilometer ceramahnya.

Prok.

Sialan, kenapa tepukan tangan itu harus terdengar sekarang. Aku segera bersembunyi di bawah meja, lagi. Dari dua hari yang lelu kenapa aku hanya bersembunyi di bawah meja? Hah, sudahlah.

Prok.

Aku melihat Qinta menjadi pias, dia yang memang duduk di sampingku jadi dia bersembunyi di meja yang sama denganku. "Tenanglah." Aku menggenggam tangannya yang dingin dan berkeringat.

Bum.

Pintu terbuka lebar, aku sekilas melihat bayangan dan ketukan sepatu di lantai. Ketukan itu memelan. Terdengar suara hembusan napas kasar. Siapa orang itu? Apakah pembunuh?

Prok.

Suara tepukan ketiga, Qinta menangis terisak. Ada apa anak ini? Kenapa dia sentimental sekali? "Tenanglah, Qin." mengeratkan genggaman tanganku.

Srek.

Suara sesuatu yang terpenggal. Aku menelan ludahku karena tenggorokanku terasa kering karena tercekat. "Tunggu di sini!" kataku pada Qinta, awalnya dia menggeleng, suara teriakan yang menyerukan 'hide or die' memang belum terdengar, tapi aku sudah terlanjur penasaran.

"Astaga!" aku memekik melihat tubuh dan kepala terlepas. Sialan. Siapa orang ini sebenarnya? Kenapa dia tega membunuh siapa saja? "Hide or Die! Hahahah..." aku merasa lemas, mataku berkunang-kunang. Aku ingin muntah! Astaga. Aku harus segera keluar.

Aku berlari, sepatuku menginjak darah yang tercecer. Aku melewati koridor yang masih sepi, aku yakin jam pelajaran pertama tidak akan berlangsung. Aku pergi ke ruang kendali. Aku melihat pintu itu terkunci.

Aku berbalik, hendak ke kamar asrama. Aku berjalan dengan merapalkan do'a. Jelas saja, karena aku sedang berjalan di koridor yang remang walaupun pagi dan bagian terbaiknya adalah aku hanya sendiri.

Ceklek.

Aku membuka pintu di depanku. Pemandangan pertama adalah cermin yang telah dicoret dengan..... darah? Aku mendekatinya perlahan sambil telinga dan mataku tetap waspada. "Don't mess with me. Jangan mencari angin di dalam air karena sia-sia. Apa dia tahu rencanaku? Apa dia tahu kami sedang mencari tahu tentangnya? Siapa sebenarnya dia?" aku mengambil air dan menyiramkannya ke kaca. Tulisan itu meluntur.

Hide or Die [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang