4

674 71 24
                                    

Aku tidak masuk kelas sejak 2 hari yang lalu. Masa bodoh, aku sedang gamang, sedih.... Galau. Ada percikan benci di hatiku. Masih ku ingat, hangat peluk Yuji. Dan sekarang yang bisa ku ingat hanya seember darah yang membasahi tubuhku.

Sudah aku putuskan. Aku akan melakukan hal ini. Aku tidak perduli jika dia akan membunuhku. Aku harus bisa mengetahui siapa dalang dari semua ini.

Aku bangkit. Berjalan pasti ke arah ruang kendali. Membuka ruang itu dengan mudah. Jelas saja, soalnya aku menggunakan kunci yang aku dan Yuji curi dari ruang staf waktu kami melakukan penyelidikan.

Aku memasuki ruang yang kosong tak berubah barang seinchi. Aku membersihkan kursi yang sudah di penuhi debu dengan kemoceng yang juga sudah sangat berdebu.

"Lihat saja, saat kau masuk ke sini aku akan menangkapmu." terserah kalau aku dibilang gila. Aku menduduki kursi dengan keras menciptakan derit kayu.

Prang.

Sial. Surat lagi. Aku membuka surat itu. Karena tidak hati-hati, saat memisahkan batu dengan kertas yang membungkusnya. Tanganku tergores membuat kulitku mengeluarkan darah di balik sayatan-sayatan kecil yang memang tidak sakit, tapi perih.

"Mencariku, cantik? Aku berada dekat denganmu, bahkan mengendalikanmu. Matilah bersama kebenaran, bertahanlah dengan kebohongan. Aku mulai bosan karena menunggu kau berhenti berkabung. Tapi, kau memancingku untuk memulai lagi permainan. Kau sudah menjadi penghitung, sekarang aku lagi. Mari kita mulai! Hide or die!" apa-apaan? Dia kasihan padaku? Cih, aku tidak lemah.

Prok.

"Tio?" aku melihat Tio tersenyum separuh. "Jadi, memang kamu yang ada di balik semua ini?" suara Tio dingin. Dia mendekatiku, menutup pintu. "T-Tio kau mau apa?" Tio menarik sebelah bibirnya.

Prok.

Dia menarik tubuhku, aku merutuk tubuhku yang sama kecil dan tipisnya dengan daun kelor. Aku tidak merasa sakit di daerah perut ataupun dada. Berarti dia tidak menikam tubuhku.

"Diamlah, aku tidak ingin mati sendiri." suara Tio terdengar hangat. Aku merasa tidak lagi terancam dengan suaranya. Hah, semoga saja dia memang tidak berniat buruk.

Prok.

Tio merapatkan kepalaku ke dadanya. Aku yang memangng berlebihan atau memang degup jantung Tio terlampau cepat? Apa dia deg-degan karena memelukku? Hah, tidak mungkin!

"Jangan berpikir hal bodoh! Aku jantungan begini karena sedang gugup!"  anak ini cenayang? Dia mengetahui isi kepalaku. Dan ini kenapa suara teriakan belum terdengar? Apa belum ada yang mati?

Aku coba menjauhkan diri, tapi Tio menahan. "Kau ingin aku mati?" aku mendongak untuk mendapat wajah masam Tio. "Apa, sih? Masa kita pelukan macam drama korea begini?" Tio tidak mengendurkan pelukannya. "Kau tahu? Aku dan Qinta adalah sasarannya. Aku yakin hari ini Qinta bersembunyi dengan baik. Dan sepertinya aku harus berlindung padamu, Ana." aku menggerutu. Dasar laki-laki! Mau menang sendiri.

"Hah, sepertinya aku kalah kali ini, besok lagi saja. Hide or die!" aku membeku. Jadi, memang benar dia mengincar kami bertiga--aku, Tio, dan Qinta-- tapi tujuannya apa? Dan siapa orangnya?

Ck, sia-sia penyelidikkanku. "Tio! Bisakah kau lepaskan aku?" Tio mendorong tubuhku. Untung saja pelan, kalau keras mungkin tubuhku akan terjingkal tidak etis ke lantai.

"Tio, jika dia tidak mengirim suara dari sini? Lalu bagaimana suara itu bisa tersebar di seluruh penjuru asrama?" Tio menghadap ke arahku. "Gunakan otakmu! Jika memang dia mengirimkan suara sialan itu dari sini, bagaimana bisa kau tetap hidup setelah menjejakkan kaki di sini?" Aih, diberi pertanyaan malah bertanya balik.

Hide or Die [COMPLETED]Where stories live. Discover now