3

737 78 27
                                    

Aku melihat daftar nama kematian di depanku, lalu aku mengambil pulpen dan menambah nama Alina di urutan selanjutnya. Apa cocok?

Yurita Alina.

Sekarang namanya menjadi Hans Orlando Deay- apa kelanjutan nama ini? Hah, aku penasaran.

Tok.... Tok... Tok...

"Tunggu!" aku bangun saat suara ketukan itu semakin keras, pasti itu Qinta. Hah, padahal dia,'kan bawa kunci lainnya. "Kan kamu bisa buk- eh? Qin?" aku melihat tak ada siapapun di depan kamar. Pasti orang iseng.

Lebih baik aku melanjutkan semediku dulu. Ya ampun bahasaku! Semedi? Si buta dari gue hantu, dong? Ck, aku harus serius.

Aku melihat mejaku terukir? Apa-apaan ini? 'Die' kata yang tertulis di meja. "Hei pengecut! Jangan main teror doang! Kalau memang kau ada masalah denganku, ayo selesaikan!" aku memandang getir sekitarku. Sial. Kenapa aku jadi gugup begini?

Klik.

Kenapa lampunya mati? "Apa wajahmu sejelek itu? Sialan, keluar kau!" aku merasa ada hrmbusan napas di pucuk kepalaku. Aku mulai waspada.

Srek.

Aku merasa perih di daguku. Basah. Aku memegang luka itu dan coba mencium bau cairan itu. Darah. "Apa mau mu? Jangan sembunyi jika kau berani!" Aku mengelap kasar darah di daguku, masa bodo dengan perih yang tertinggal.

Hening sejenak, sampai suara yang sering ku dengar di pengeras suara langsung terasa di belakangku. "Hide or Die! Hahahah...." aku merinding, bahkan untuk berbalik saja aku tidak bisa.

Bugh.

"Arrgghh!!!" aku merasakan sebuah pukulan di tengkukku. Tiba-tiba nyawa terasa terenggut paksa dari diriku. Entah apa yang terjadi tapi aku merasa tertidur di atas marmer yang dingin.
____________________________________

"Ana! Bangun Ana! Astaga bagaimana ini?" aku samar mendengar tangisan Qinta. Tapi kenapa mataku susah dibuka? Hah, apa aku sudah mati? Sampai aku merasa harus membuka mata saat tangan hangat menyentuh tanganku. "Bangunlah, aku mohon." dengan sekuat tenaga aku membuka mataku.

Mataku perih saat cahaya ruangan menerpa manik mataku. "Ana! Aku khawatir sekali, kahu tahu?" aku merasakan perih di daguku. "Apa yang terjadi, An?" aku melihat Tio ada di sampingku.

"O-orang itu datang menerorku." aku merasa lidahku seperti ditempelkan ke es batu sehingga kelu. "Kenapa dia tidak membunuhmu?" Qinta menatap ku curiga. "Kenapa kamu melihatku begitu?" dia curiga... Padaku? "Mana mungkin dia melukai dirinya sendiri. Yang benar saja!" Yuji berbicara tajam. Siapa yang tahu?

"Cukup Qinta! Kenapa kamu jadi curiga pada temanmu sendiri?" Tio ikut membelaku. "Huh, siapa yang tahu,'kan?" Qinta mendengus. Dia keluar dan membanting pintu kencang.

"Aku rasa dia masih terguncang karena kematian Alina." Tio menenangkan. "Lebih baik kamu istirahat." Yuji menekan keningku agar kepalaku berada di atas bantal. "Kamu menyuruhku tidur lagi? Sekarang saja sudah jam 9 pagi." Yuji dan Tio meringis mendengar teriakanku. "Kamu sedang menstruasi?" aku menggeleng. Mana mungkin.

"Sudah sana keluar! Aku mau mandi!" mereka tersenyum tengil. "Mau ku temani?" Yuji mengedipkan sebelah matanya. "Jangan harap!" Tio membanting pintu. "Jangan bermesraan di depanku!" suara menggelegarnya terdengar padahal terhalang tembok.

"Jadi, kau mau ku mandikan?" aku mengambil bantal. Tunggu! "Ini hari apa?" aku tidak jadi melempar bantal pada Yuji. "Hari Minggu." jawabnya santai. "Kalau begitu cepat keluar! Aku mau mandi." Yuji bergeming. "Aku ingin menjagamu, siapa tahu orang itu menerormu di kamar mandi?" Yuji menunjukkan muka memelas.

Hide or Die [COMPLETED]Where stories live. Discover now