5

668 61 14
                                    

Aku berjalan ke kelas. Banyak pandangan ke arahku. Ada yang memandang kasihan, ada yang menatap jijik. Mereka pasti beranggapan akulah yang bersalah. 

Brak.

Seseorang menabrakku hingga jatuh. "Kau! Kau sudah membunuh Yuji, sekarang Qinta! Aku yakin kaulah pembunuh itu." Lana berdiri bersama temannya, kalau tidak salah namanya Ihda dan juga Anita.

"Jangan asal tuduh! Lihatlah badannya! Dia masih diperban!" seorang siswi membelaku, dia mengangkat tubuhku. Aku coba mengangkat tubuhku dibantunya.

Bugh.

"Ups, sorry. Aku tidak sengaja." dia mendorongku jatuh kembali ke lantai membuat tubuhku ngilu, ditambah perih di jahitan tubuhku yang belum kering. "Jangan jahat begitu, Dis." Ihda memandang mencemooh ke arah ku. "Biarpun dia telah membunuh Yuji, orang yang dia rebut darimu." lanjut Ihda. "Jalang tetap saja Jalang! Sudah mengambil Yuji dariku, lalu kau membunuhnya. Dan sekarang kau menghilangkan jejak dengan membunuh Qinta? Dasar tidak tahu diri!" teriakan Disty membuat aku mendongak.

Susah payah aku berdiri. "Aku tidak membunuh Yuji ataupun Qinta. Dan kau bilang apa? Aku merebut Yuji darimu? Memangnya Yuji pernah mencintaimu?" terserah mereka mau membunuhku sekarang. Malahan aku akan senang.

"Dasar!" Disty berusaha menarik rambut panjangku. "Jangan mencoba menyentuhnya atau aku akan mencincang tanganmu hingga hancur." Tio memelukku dari belakang. Sebelah tangannya di pinggangku dan tangan satunya memegang tangan Disty yang hampir menyentuh rambutku.

"Oh, sekarang kau memanfaatkan Tio menjadi tamengmu?" Disty melepaskan tangannya dari genggaman Tio. "Perempuan murahan." Tio menggeram dapat aku dengar. "Dengar ini perempuan murahan! Aku bukanlah tameng Ana. Tapi, Siana adalah tamengku, baru benar." aku menahan tawa. Dasar Tio.

"Cih, kau berkata begitu malah membenarkan bahwa Sianalah yang melakukan permainan petak umpet sialan ini." dasar perempuan bermulut cabe. Dia benar-benar menuntun tanganku untuk menamparnya.

"Pergilah dari sini, Dis. Atau akan ku patahkan jari-jari lentikmu itu." suara Tio terdengar santai tapi dinginnya luar biasa.

Tio menjitak kepalaku. "Kenapa kau tidak melawan cewek bau deodoran pasaran itu?" aku tertawa. "Bagaimana aku melawan, lukaku saja belum kering." dia menarik tanganku.
____________________________________

Tio mendudukkanku di ranjangnya. Jangan berpikir kotor! "Buka bajumu!" what? Aku salah dengar? Apa Tio sudah gila.

"Apa maksudmu?" Tio memijat keningnya. "Apa aku harus mengulang seribu kali? Aku bilang, buka bajumu!" aku bersedekap. "Hei! Sejak kapan kau jadi mesum? Jangan harap aku membuka bajuku." Tio mendekat.

Dia menarik kerah bajuku. Sehingga tubuhku terangkat dan mendongak ke arahnya. "Pernah aku melecehkanmu, Ana? Bukankah kemarin kau juga hanya menggunakan tanktop saat aku menjahit lukamu. Jadi, buka saja karena aku akan memeriksa lukamu!" dia menatapku malas. "Lagian badanmu tidak sebagus itu." aku melotot ke arahnya.

Aku membuka kancing bajuku sampai ke kancing ketiga. Tio duduk di sampingku. Dia memiringkan tubuhku sampai membelakanginya. Dia menurunkan bajuku hingga bahuku terekspos sempurna. Haduh, aku merasa risih.

"Hah, ini pasti karena perempuan-perempuan berotak udang itu." aku merasa perih saat  basah menyentuh bahuku. "Lain kali tendang saja sampai terpingkal." tambahnya.

Tio sepertinya sudah selesai membersihkan lukaku, karena dia memperbaiki letak bajuku sehingga bahuku kembali tertutup oleh kain. "Lihat ke arahku!" kenapa dia jadi terus saja memerintah? "Kenapa kau lama sekali?" aku membalik badanku setelah mengancing kembali bajuku.

Hide or Die [COMPLETED]Where stories live. Discover now