6

590 53 11
                                    

Aku tak merasakan sakit atau nyeri. Tapi, kenapa bau anyir, amis, dan karat yang melekat pada darah dapat ku rasakan di hidungku.

"Buka matamu, bodoh!" Tio berdiri di depanku. Bajunya penuh bercak darah. Aku dapat melihat Yuji terbaring di depanku dengan bersimbah darah.

"Syukurlah kau datang, Tio." aku menyeka darah yang terciprat ke wajahku. Aku rasa, perasaanku pada Yuji itu sebuah kebohongan. Lebih baik aku memupuskannya dan menguburnya jauh-jauh.

"Jelas aku menyelamatkanmu darinya, karena hanya aku yang boleh membunuhmu." Tio menodingkan pistolnya.

"Jangan bercanda!" aku coba menyingkirkan pistol itu. "Tio! Turunkan pistolnya!" aku melihat seringai di wajahnya.

"Bukankah aku sudah bilang bahwa aku mencintaimu? Maka inilah caraku mencintaimu. Membunuhmu agar kau tak bisa dimiliki orang lain." mata Tio menggelap.

"T-tapi kau bilang kau akan melindungiku." aku mundur perlahan.

"Sudah kubilang, bukan aku yang melindungimu. Tapi, kaulah yang menjadi tamengku, karena kau aku tidak perlu dicurigai." dia mendekati tubuhku.

"Tio! Aku mohon kalau kau bercanda, aku mohon jangan seperti ini." aku merasa ingin menangis saja. Kenapa aku terus ditipu? Mereka mengincarku. Dan ingin membunuhku?

"Hah, aku kasihan kepada Yuji. Sebenarnya dia ingin melindungimu, tapi kau malah lebih percaya padaku." aku melihatnya menggeleng seakan menertawaiku.

"Apa maksudmu?" aku sudah merasakan dinginnya tembok di punggungku.

"Seharusnya kau memang mencurigaiku, tapi Yuji malah ingin membukanya sendiri tapi dia malah terbunuh olehku sekarang." aku ingat saat itu. Aku memang mencurigai Tio, tapi Yuji marah saat aku mempertanyakan Tio.

"Dia marah bukan karena kau mencurigaiku. Tapi, dia tahu yang sebenarnya." Tio seperti membaca pikiranku.

"Siana mau,'kah kau menjadi pacarku? Jika kau menjawab 'iya' maka aku akan menembak kepalamu. Tapi, jika kau menjawab 'tidak' aku akan menikam perutmu." apa? Pilihannya tidak ada yang bagus.

"Itu sama saja, kau tetap saja membunuhku. Tapi, aku akan menjawab tidak." dia tertawa renyah.

"Aku bukan membunuhmu, aku melindungimu." dia sudah gila.

"Aku yakin, Tuhan akan menjagamu." dia mengeluarkan sebuah pisau. Aku sudah terpojok.

Tio mendekatiku perlahan. Dia menarik tengkukku. Wajah kami sangat dekat.

Srek.

"Aarrghh..." aku merasakan sakit yang sangat menyiksa. "S-sakit! Tolong lepaskan aku." aku menangis. Sialan, padahal aku sudah menahan air mataku.

"Baiklah!" Tio menarik pisaunya keluar. Aku menjerit sejadinya. Sakit, ini benar-benar sakit.

"Oh, aku kasihan kepadamu." aku terlentang di tanah. Tio mendudukkan diri di sampingku.

"Aku akan mempercepat semua ini. Katakan pada Tuhan agar dia jangan memisahkan kita." mataku berkunang-kunang.

"Selamat tinggal, Ana." Tio mendekatkan moncong pistol ke kepalaku. Suara tarikan platuk membuatku semakin gusar.

Dor.

Aku merasakan otakku pecah. Dan dalam hitungan detik itu juga aku menutup mata karena pusing, sesak, dan nyeri aku rasakan.

"Aarrgghh!!" aku menarik napas panjang. Membuka mataku lebar. Ini di mana? Bukankah aku tadi di halaman belakang sekolah? Kenapa aku berada di sebuah ruangan. Lebih tepatnya ruang kamar rumah sakit.

Hide or Die [COMPLETED]Where stories live. Discover now