Bagian #6

18K 623 37
                                    

Satu setengah bulan berlalu bahkan terasa begitu cepat. Kupandang jalanan kota Melbourne dari lantai dua belas apartemen tempatku tinggal.

"Ini aku buatkan teh hangat." Perempuan cantik itu berucap sambil menaruh nampan di meja.

"Terima kasih," jawabku singkat lalu berlalu ke ranjang.

"Nggak mau ke dokter saja?" Sabrina tampak khawatir, aku hanya meringis  sambil menggelengkan kepalaku. "Kamu pucat sekali, Nay," lanjutnya sambil menatapku sedih membuatku terkekeh.

"Aku tidak apa-apa, ini hanya masuk angin biasa," yakinku pada Sabrina.

"Naraya, kapan kamu terakhir datang bulan?" pertanyaan aneh itu meluncur dari mulut Sabrina, dahiku mengernyit tidak mengerti maksudnya. "Baru dugaan sih," cicitnya ambigu.

"Maksud kamu dugaan apa?" Aku menatapnya bingung. " By the way, bulan ini aku hampir telat tiga minggu, tapi minggu kemaren sempat flek sih tiga hari terus berhenti lagi." Kucoba mengingat-ingat jadwal datang bulanku, sambil mengambil kalender meja.

"Itu flek nya darah atau?" Sabrina terlihat semakin ingin tau.

"Iya darah. Tapi sebelum itu aku merasakan kram perut,kenceng gitu," jawabku jujur.

"Naraya, aku rasa kamu memang harus ke dokter." Usul Sabrina kali ini tidak masuk akal. Untuk apa ke dokter hanya karena masalah sepele seperti ini? Lagian, bukankah kita juga adalah mahasiswa kedokteran.

"Tidak perlu. Kamu aneh sekali." Aku berusaha tertawa tetapi perempuan itu terlihat semakin panik.

"Kamu dan Karan. Malam itu kalian melakukannya, bukan? Tidak ada yang tau, bisa saja dari kejadian itu," cicit Sabrina pelan. Seketika tubuhku melemas mendengarkan penuturannya. "Kamu mengomsumsi pil setelah malam itu?" Sabrina bertanya sambil menatapku lembut dan aku menggeleng lemah. Astaga, kenapa aku bodoh sekali. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu.

"Aku belikan testpack mau?" tawarnya tetapi kutanggapi kembali dengan gelengan. Kuremas perut rataku dengan kuat berharap tidak ada kehidupan di sini.

*

Tiga hari berlalu dan keadaanku semakin buruk. Mual luar biasa yang terjadi di jam pagi membuatku tidak memiliki tenaga sama sekali, bahkan untuk berjalan ke wastafel saja harus dibantu oleh Sabrina.

"Aku tidak tega melihat mu seperti ini, kita kerumah sakit ya, Nay?" Sabrina meraih rambutku yang berantakan lalu mengucirnya menjadi satu.

"Aku tidak apa, mungkin maag ku kambuh." Aku mengelak sambil membasuh mulutku dengan air. Astaga, tenggorokan ku perih sekali rasanya.

"Apapun makanan yang kamu makan keluar semua, Nay. Demi apapun jika kamu tetap bersikeras tidak mau ke rumah sakit tubuhmu akan semakin tak bertenaga," oceh Sabrina panjang lebar sambil membantuku berjalan ke ranjang. Aku hanya diam bahkan untuk menjawab saja rasanya tidak mampu. Aku merasa begitu lemas.

"Naraya," teriakan itu menjadi suara terakhir yang bisa kudengar sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku.

**

Sepuluh menit sejak aku membuka mata, hanya ada keheningan diantara aku dan Sabrina. Tetesan itu tidak bisa kuhentikan setelah menerima kabar terburuk dalam hidupku.

"Jadi keputusanmu?" Suara itu membuyarkan lamunanku. Kutatap Sabrina dengan tatapan kosong.

"Aborsi," jawabku singkat,padat,dan sangat jelas.

"Gila kamu!" teriak Sabrina nyaring.

"Akan semakin gila jika aku mempertankan anak sialan ini." Katakan saja aku tidak memiliki hati atau apa pun. Karena nyatanya memang seperti itu, aku tidak sudi mengandung anak Karan.

FALLING IN LOVE [REPOST] Where stories live. Discover now