Kepingan Empat

1.9K 143 14
                                    

Setelah berkunjung ke kompleks Fishfood, siang itu, Petty langsung mengajak Rishi ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Setelah berkunjung ke kompleks Fishfood, siang itu, Petty langsung mengajak Rishi ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan. Mereka melewati jalan utama desa Tanjung. Pasar tradisional di desa ini terletak di ujung timur desa dekat pintu masuk kampung. Pasar ini biasanya ramai pada pagi serta petang hari, ini dikarenakan sebagian warga memanfaatkan waktu siang mereka untuk berkebun di ladang atau mencari ikan di laut. Aneka bahan makanan di pasar tradisional hampir semuanya berasal dari ladang warga, sehingga harganya relatif murah.

Arsitektur pasar tradisional di desa ini, berupa rumah panjang tanpa dinding, yang dilengkapi petakan-petakan yang telah diatur per jenis bahan makanan.

Petty dan Rishi langsung menuju petakan sayur. Tumpukan kacang panjang, kangkung, mentimun, dan ubi berada di sekeliling. Petty meradarkan matanya di antara deretan sayur, sementara itu Rishi yang tidak terlalu mengerti soal sayur, hanya mengekori sambil menenteng keranjang kosong.

Kini Petty asik memilih-milih sawi, "Kau tahu hampir semua keluargaku pintar memasak. Ibuku, ayahku, kakakku yang cowok dan adikku yang paling bungsu."

"Keren." Rishi mengangkat jempolnya.

Petty menyerahkan beberapa uang kertas kepada penjual dan memasukkan sawi ke dalam keranjang. "Di rumah ayah sering membantu ibu memasak di dapur, bahkan kalau ibu sedang pergi, ayah akan siaga di dapur. Kalau mereka bersama, isi dapur biasanya akan penuh dengan tawa. Mungkin karena itulah, aku berserta kakak dan adikku seperti tersugesti kalau memasak itu menyenangkan." Petty berpindah ke petakan wortel dan kembang kol yang bersebelahan dengan petakan pertama tadi. Dia lantas melanjutkan, "Makanya anak-anak ayah dan ibu gak segan-segan turun ke dapur. Untunglah orang tuaku sudi mengajari kami perlahan-lahan."

"Tidak kebayang kalau aku tinggal bareng keluargamu, aku pasti kekenyangan setiap hari," komentar Rishi.

Petty mengangkat beberapa ikat wortel dan kembang kol ke hadapan sang penjual, "Ini semua berapa, Bu?"

Sang ibu penjual memberikan senyum, "Lima belas ribu."

Petty membuka dompet dan mengambil uang. "Terima kasih Bu," ucap Petty setelah membayar. Wanita itu memasukkan dua sayur tersebut ke dalam keranjang yang ditenteng Rishi.

"Eh, kau belum memberi tahu aku tentang Danu," Rishi mendadak ingat pertanyaan-pertanyaannya tadi.

"Kau masih penasaran?" jawab Petty setengah menggoda.

"Iyalah," ujar Rishi spontan. "Aku tahu, bagi anak rumahan sepertimu traveling sendiri butuh keberanian. Pasti ada tujuan besar yang ingin kau lakukan di sini. Apalagi hanya untuk bertemu Danu."

Petty kini bergerak lagi menyusuri petakan-petakan. "Danu itu pacarku."

Kening Rishi berkerut, "Pacar? Kau jauh-jauh ke sini hanya untuk bertemu dengannya?"

"Kenapa nada bicaramu seperti itu?"

"Karena ini luar biasa. Kau berkorban cuti dari pekerjaanmu, keluar dari rumahmu hanya untuk seorang pria yang bahkan belum tentu jadi calon suamimu," Rishi menekan kata suami dengan sedikit tegas. "Aku ini pria, aku paham dunia kaum adam. Pergi ke tempat yang jauh dari kekasih tak menjamin kami setia."

"Dengan kata lain, kau ingin bilang Danu bisa saja selingkuh? Please, jangan menyamakan Danu dengan pria sepertimu!" Petty memelotot.

"Hahaha, aku hanya berkomentar."

"Jangan-jangan kau berlibur ke sini hanya untuk mencari wanita yang bisa kau pacari," tebak Petty. "Semoga aku bukan targetmu!"

"Tolong jangan berpikiran sempit. Aku bicara dalam konteks hubungan jarak jauh. Di dunia ini berapa persen hubungan jarak jauh bisa bertahan? Sedikit sekali. Mungkin hanya lima sampai sepuluh persen. Kebanyakan pria yang mengakhiri hubungan, alasannya macam-macam, tak ada kabarlah, terlalu sibuklah, pekerjaan yang menumpuklah."

"Tolong Rishi, hari ini aku sedang bahagia, jangan menakuti aku."

"Aku hanya—"

Petty langsung memotong. "Tunggu, aku ingin kau melakukan tugas kelimamu."

"Apa itu?"

"Tutup mulutmu, dan jangan bicara lagi sampai kita tiba di rumah!"

Mata Rishi nanar. Pria itu tahu, jika tercetus kata tugas dari Petty, maka dia tak dapat melawan. Rishi lantas mengangkat jari tengah dan jari telunjuk membentuk huruf 'V'—bermaksud damai. Sungkan-sungkan dia mengembang senyum.

"Nah, kalau senyum gitu kan, kau lebih manis?" celetuk Petty sedikit meledek.

Mendadak ada getaran yang mengganggu di saku celana Rishi. Sepertinya berasal dari ponselnya. Rishi merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Ternyata panggilan masuk dari Dinar. Rishi melirik Petty, "Ada telepon," ucap Rishi menerangkan. "Aku ke sana dulu," sambungnya lalu menyerahkan keranjang barang pada Petty.

"Oke, silakan."

Dengan gerakan cepat Rishi menjauh dari petakan sayur. Keadaan yang cukup bising di dalam pasar menuntutnya mencari lokasi yang lebih tenang untuk mengobrol. Pria itu memilih pintu masuk pasar tradisional sebagai tempatnya menerima telepon. "Halo Beib," sapa Rishi.

"Kok lama angkatnya?" Dinar langsung mencecar.

"Aku—"

"Kabarmu baik?" Dinar memotong.

"Ya, baik."

"Maaf baru menghubungimu, aku agak sibuk di sini."

"Tidak, apa-apa."

"Gimana kesehatanmu? Kau tidak sakit kan di sana? Kau tidak main seharian di pantai kan? Kau juga menjaga makananmu kan?" Dinar mencecar lagi.

"Semua berjalan baik. Kesehatanku oke. Dan aku jarang main ke pantai kok," jawab Rishi. Pria itu sadar kalimat terakhirnya bohong, rumah yang dia tempati bahkan menghadap bibir pantai.. "Di sini, aku punya koki hebat, jadi makananku terjamin."

"Apa kau nyaman dengan itu semua?"

Alis Rishi bertaut, pertanyaan Dinar seperti tidak wajar. Ragu-ragu Rishi menjawab, "Ya, nyaman. Cukup nyaman."

"Ya udah nanti kita sambung lagi. Aku hanya memastikan keadaanmu, bye."

"Bye," Rishi menutup telepon dan menyimpan kembali ponselnya.

Ketika hendak balik ke dalam, langkah pria itu tertahan. Ternyata Petty sudah berada di sampingnya. Wanita itu menambah satu tentengan berupa tas besar. Dari luar Rishi dapat melihat kalau isinya daging. Sementara itu isi keranjang yang tadi hanya setengah, kini sudah penuh dengan beberapa sayuran lain.

"Jadi kau menganggapku sebagai koki?" Petty menodong langsung.

"Kau mendengar percakapanku?"

"Iya, karena sejak tadi aku di sini!" suara Petty agak ketus. "Karena setiap koki butuh asisten, jadi kau bawa semua barang-barang ini." Petty menempelkan kantong plastik dan keranjang ke dada Rishi. "Itu tugas keenam yang harus kau lakukan."

Arrrgh, Rishi mungunci. Lagi dan lagi, jadi tukang angkat-angkat.

"Mari pulang!" Petty mengomando.

Oh Tuhan... harusnya tadi aku tak mengatakan nyaman, rutuk Rishi dalam hati.

.....bersambung

Hello You [Completed]Where stories live. Discover now