Kepingan Delapan

1.5K 116 8
                                    

Setelah tiga hari bekerja keras mengurus rumah, Rishi benar-benar mengerti kenapa wanita sering disebut multitasking, sebab dalam satu waktu mereka mahir menunaikan dua hingga tiga pekerjaan sekaligus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah tiga hari bekerja keras mengurus rumah, Rishi benar-benar mengerti kenapa wanita sering disebut multitasking, sebab dalam satu waktu mereka mahir menunaikan dua hingga tiga pekerjaan sekaligus. Dan kini Rishi menghadapinya. Dalam tempo satu jam dia harus menjamin bahwa makanan sudah siap, rumah sudah bersih, membuat list belanjaan, sampai-sampai mesti memastikan keadaan Petty. Jujur, itu semua bukan pekerjaan gampang. Bahkan demi menyiasati hal tersebut Rishi harus mengonsumsi multivitamin secara rutin, karena jika dia tumbang, maka hunian ini mirip rumah sakit tak berpegawai. Untunglah di hari ke empat kondisi Petty membaik. Malah seharian wanita itu sudah beraktivitas normal.

Malam ini bulan sabit muncul di langit. Cahayanya agresif menantang bintang-bintang. Sementara itu angin di luar bertiup rendah, seolah menggiring ombak menuju bibir pantai. Usai makan malam Petty mengajak Rishi keluar bermandikan bulan. Tanpa alas, Rishi dan Petty mendaratkan bokong di atas pasir. Pandangan mereka fokus ke pantulan bulan di laut.

"Aku belum pernah bertemu orang sepertimu sebelumnya," komentar Petty memecah hening. "Pria ajaib, yang membuatku kesal sekaligus iba tapi sungguh baik hati."

Rishi tertawa.

"Kau komplet," Petty menyadari bahwa yang sedang dinilainya adalah seluruh perangai Rishi yang dia rasakan kurang dari sebulan. "Kau tidak seperti Danu, pria sempurna tapi penipu."

"Penipu?" Rishi merefleks kaget.

"Ya, dia menipuku. Danu menduakan aku. Kau tahu resepsionis di kantor Fishfood yang menerima kita tempo hari? Yup, dia selingkuh dengan wanita itu. Aku melihatnya di mes Danu malam itu," Petty jeda sebentar sembari mengingat kejadian mengenaskan tersebut. "Ketika aku meminta penjelasan Danu, dia malah memilih wanita yang bahkan malam itu mengenakan pakaian yang membuatku luar biasa jengkel."

Rishi urung berkomentar. Dia ragu untuk turut campur dalam urusan asmara ini.

"Jujur aku sedih. Kebahagiaan yang ingin kujemput, hancur dalam waktu lima menit. Tapi, aku bersyukur. Dengan datang ke sini, aku bisa tahu siapa sebenarnya pria itu. Perjalananku tak sepenuhnya sia-sia." Petty memainkan pasir di tangan. "By the way, terima kasih kau sudah merawatku. Aku merasa sangat nyaman."

"You're welcome." Sederetan gigi Rishi nongol.

Petty lantas makin merapatkan tubuh dekat Rishi. Entahlah malam ini, Petty hanyut dengan segala atribut yang berada di rupa muka pria yang sudah jadi teman satu atapnya di desa ini. Dagu Rishi yang begitu lancip kini tumbuh bulu-bulu halus, wanita itu yakin pria ini lupa mencukurnya. Tulang pipi Rishi seolah menyapa dengan kalimat-kalimat hangat, Hai aku Rishi. Setahu Petty, dia memang jarang menemukan pria berwajah tirus dengan komposisi wajah yang sempurna. Jika kelopak-kelopak mata Rishi mengatup sesekali, rasanya Petty ingin mencukur bulu mata Rishi karena terlalu lentik untuk ukuran pria. Namun dari semua itu, yang selalu menjadi magnet terbesar mengalihkan perhatiannya tentu saja luka parut yang menggoresi kening bagian kanan pria ini.

Rishi meneggakkan posisi badan. "Aku tahu kau memperhatikan luka parut di keningku."

Petty bergidik kaget lantaran ketahuan. Diam-diam ada damai yang menyusup ke dalam hatinya. Seperti sebuah nuansa yang membahagiakan. Petty sulit menejermahkan ini apa, tapi dia percaya ini mirip dengan keadaan sewaktu mereka bersama di bawah pohon kelapa. Petty menoleh ke pohon kelapa yang berada dua meter dari posisi mereka, lalu kembali memonitor luka parut di kening Rishi. Wanita itu kemudian mengumpulkan satu per satu ingatannya bareng Rishi, mulai dari pertemuan mereka di pelabuhan, naik kapal bareng, menumpangi sebuah bus, tinggal bersama, makan bareng, belanja bareng, jalan bersama.... Astaga, mengapa aku begitu detail mengingat momenku bersama Rishi, apakah aku telah— Petty berprasangka. Tidak-tidak, ini hanya perasaan sesaat saja, mungkin karena kita dekat dalam waktu singkat.

"Jangan bilang kau ingin bertanya lagi penyebab luka di keningku," Rishi membuyarkan konsentrasi Petty. "Kan aku sudah menjelaskannya dulu."

"Mmmm... mmm... mmm," Petty gagu. Butuh setengah menit agar dia dapat mengendalikan diri. Sebelum Rishi bicara lagi, Petty mencetuskan kalimat yang memang sejak tadi pagi ini dia katakan, "Aku akan berencana balik ke Jogja, tiga hari lagi."

"Kalau kau balik, berarti, aku juga bakalan ninggalin tempat ini." Rishi dapat mengambil kesimpulan dengan cepat. Toh, kehidupannya bergantung pada wanita ini. Dia minus duit untuk melanjutkan hidup di pulau ini.

"Tapi kalau kau mau, besok, kita bisa pergi mengunjungi salah satu tempat yang paling ingin kau kau datangi."

Rishi terdiam sesaat.

"Bagaimana?"

Rishi tak enak hati. "Kurasa tinggal di sini sudah cukup, aku tak ingin apa-apa, apalagi merepotkanmu."

"Padahal, aku sudah berbaik hati loh," Petty pura-pura cemberut.

***

.....bersambung

Hello You [Completed]Where stories live. Discover now