Kepingan Delapan [Part 2]

1.6K 118 14
                                    

Di depan lemari yang terbuka lebar Petty masih mematung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di depan lemari yang terbuka lebar Petty masih mematung. Peluh sedikit membanjiri pelipisnya. Napasnya engah-engah. Sejak setengah sejam lalu wanita itu mengosongkan pakaian dari lemari. Kini tinggal beberapa sweter yang masih tergantung di hanger. Cepat-cepat wanita menarik benda itu, lalu jejalnya ke dalam koper. Petty melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir pukul 2 siang. Dia gegas ke meja rias, wanita itu merebut semua botol dan barang-barang yang sering digunakan untuk menambah kecantikan wajah. Pelaratan tersebut akhirnya aman di dalam koper.

Wanita itu mengelap keringat yang membasahi dahi.

Di kamar sebelah, Rishi juga melakukan hal serupa. Dia menata barang-barang ke dalam tas carrier. Pria itu berhenti saat menemukan buklet di salah satu kantong tas. Rishi mengamati cover buklet dan seketika mengembang senyum. Buklet wisata yang membuat peta pulau Seram ini dia peroleh di salah satu travel sehari sebelum memutuskan ke Maluku. Rishi membuka halaman per halaman. Banyak sekali foto-foto cantik. Seluruh foto-foto itu dideskripsikan panjang lebar. Rishi berhenti di sebuah halaman yang menjelaskan tentang permukiman warga Naulu yang berada di dusun Ruhua. Desa ini merupakan salah satu destinasi yang paling ingin dia kunjungi, jaraknya bahkan hanya 30 menit dari Tanjung. Pria itu berpindah ke halaman lain. Sebuah gua di perbukitan muncul di salah satu halaman, gua Akohi. Gambar stalaktit dan stalagmit sungguh menggoda. Rishi mengusap-usap gambar tersebut. Gua ini juga masuk daftar tujuan kedatangannya ke pulau ini. Rishi lantas teringat akan tawaran Petty kemarin. Pasti mengunjungi salah satu tempat ini, menyasyikkan.

Tiba-tiba ponsel di saku Rishi bergetar. Cepat-cepat pria itu merogoh. Ternyata pesan singkat dari Dinar, Selamat siang Beib! Aku lagi di rumahmu nih. Pria itu hanya baca sekilas, lalu menyimpan kembali ponsel ke saku.

Rishi fokus lagi ke buklet di tangannya. Lama tertegun memandangi halaman cover, pria itu bergerak ke pojokan dekat pintu. "Aku tak butuh ini", katanya lalu melepaskan buklet ke boks sampah. Segala yang kudapatkan di desa ini, rumah ini, bersama Petty, bagiku sudah cukup.

---

30 menit berikutnya, pukul 14.30.

Piiip! Piiip! Bunyi klakson terdengar kencang. Rishi di dalam kamar mengerutkan kening. Piiip! Piiip! Bunyi klakson nyaring kembali. Penasaran Rishi bangkit dan keluar. Sumber bunyi berasal dari halaman. Rishi menyegerakan diri ke teras.

Astaga, di halaman terdapat sebuah jip. Di belakang setir Petty menjungkit alis. Wanita itu mengenakan kacamata hitam dan topi fedora. Petty melepaskan kacamata dan menjulurkan kepala keluar jendela. "Kamu siap bertualang denganku?"

"Kau serius?" Rishi setengah ragu.

"Tentu saja. Aku ingin, kita memanfaatkan waktu tersisa, seperti perjalanan yang akan selalu membekas di kepala."

Rishi tersenyum, dua lesung terbit di pipinya. "Baiklah." Pria itu berlari mendekati mobil.

"Tunggu," teriak Petty. "Kunci pintu dulu."

Rishi kembali ke pintu, lalu mengunci benda lebar tersebut.

---

Setelah Rishi berada di belakang dasbor mobil, Petty cekatan melarikan kendaraan menjauh dari rumah. Wanita itu bergerak ke arah timur, tujuannya ke kota Masohi. Beberapa kilometer meninggalkan desa Tanjung, Rishi bertanya ke Petty, "Kita akan ke pantai Rutah lagi?"

Petty yang fokus menyetir, menjawab tanpa menoleh, "Masa kita ke pantai Rutah lagi?"

"Trus?" Rishi benar-benar polos.

"Tunggu saja kejutan dariku," Petty mengembangkan tawa penuh misterius.

Mobil jip yang membawa mereka sudah melewati desa Rutah. Hal-hal menarik yang sama masih mereka temukan seperti bepergian beberapa hari lalu. Mendekati kota Masohi, Petty membelokkan arah ke jalan raya yang lebih sempit. Jalan raya tersebut menanjak ke daerah perbukitan. Ini semakin memaksa kening Rishi berkerut. Di sekeliling, jalan dibatasi alang-alang yang tingginya bisa sampai satu meter. Tak hanya itu, alang-alang juga meluaskan keperkasaannya dengan menutupi hampir semua perbukitan. Pohon-pohon khas tropis juga tampak tersebar beberapa. Warnanya yang hijau dan rimbun elok di penglihatan. Angin berembus kencang, alang-alang langsung menari.

Rishi melihat jam di ponselnya. Pukul 05.25 sore. Pria itu menebar pandang ke belakang, sebagian desa Amahai tampak jelas di bawah sana. Rishi membalikkan tubuh kembali ke depan, seolah mengerti apa yang ada di otak Petty.

Ketika jalan raya sudah tak lagi menanjak, di jalan lurus, Petty menepikan mobil. Wanita itu turun gegas-gegas. "Welcome to Gunung Karai!(1)" Petty melebarkan tangannya seolah memiliki sayap, suaranya bahkan membahana.

Rishi ikutan turun. "Gunung Karai? Bukankah ini bukit!"

"Aku juga kurang mengerti, tapi itulah yang kudapat infonya," Petty mengeluarkan sebuah brosur dari saku celana. Brosur itu dia lipat-lipat. "Tadi saat ke rental, aku meminta brosur wisata di sana. Setelah aku perhatikan, ternyata ada satu lokasi yang menyuguhkan pemandangan lengkap, gunung, laut dan pedesaan dari ketinggian. Lokasinya ya ini, bukit Gunung Karai."

"Jadi?"

"Jadi sebelum besok kita ke Ambon, aku ingin sekali merasakan bebas sebebas-bebasnya bareng kamu di sini. Menikmati sisa akhir perjalanan kita."

"Kau ingin menyenangkanku ya?"

Petty tak menjawab. Wanita itu malah memilih duduk di atas kap mobil. Mau tak mau Rishi juga ikut melakukan hal serupa. Di bawah sana, terhampar desa Amahai yang masih lebih dominan kawasan hijaunya. Atap-atap rumah penduduk mirip ubin yang disusun. Dari ketinggian ini, mereka juga mampu melihat Tanjung Kuako. Bentangan lautnya membiru, garis pantainya ternyata lebih panjang. Sementara itu pohon-pohon kelapa di sepanjang bibir pantai, mirip barisan kawanan semut. Jika menerawang lebih jauh pulau Saparua tampak mungil dikelilingi laut biru.

Di sekitar burung-burung pipit menghentikan laju mereka dengan hinggap di dahan alang-alang yang lemah.

"Aku akui, pemandangan ini super keren. Sepuluh kali lebih indah dari lukisan. Sepuluh kali lebih memakau dari hasil foto editan," Rishi berkomentar.

"Berarti keputusanku membawamu ke sini, tepat!"

"Sepanjang perjalananku ke daerah-daerah, ini merupakan salah satu tempat terbaik dengan pemandangan lengkap. Pantai, laut, desa, gunung, pulau menjadi kesatuan dalam satu pandangan."

Mereka sama-sama meluruskan pandangan ke depan. Seperti ada yang mengomando mereka kompak terdiam. Dua menit mereka lalui tanpa suara. Hanya ada bunyi angin dan kicaun pipit.

Petty memainkan bibir bawah sebelum akhirnya angkat bicara. "Jika nanti kita tua, apa kau akan ingat kita pernah melewatkan hal ini?"

"Mungkin iya, mungkin juga tidak."

"Kenapa begitu?"

"Karena mungkin saja, kita akan pikun dan melupakan segalanya. Bisa juga iya, jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, dengan begitu kita bisa saling mengingatkan, pernah berada di sini."

Petty lantas tertawa. "Kau benar."

Sore itu, mereka menikmati senja tanpa turun dari kap mobil. Entah sudah berapa kali Petty melewatkan hal demikian bareng Rishi. Tapi disadarinya, meski kerap kali dalam situasi yang sama, sensasinya selalu berbeda. Tak ada kata bosan untuk mengagumi senja di pulau ini.

Menit-menitbeterbangan, mendesak langit menggulung sore. Dari jajaran-jajaran rumah dibawah sana lampu-lampu memijarkan sinarnya. Warnanya kuning dan ramai, miripbintang-bintang di langit. Ketika di sekeliling menjadi hitam pekat ditimpalisuara jangkrik yang menjerit-jerit, baik Rishi maupun Petty enggan kembali kebelakang dasbor. Sepertinya mereka masih betah berlama-lama di Gunung Karai.

***

Catatan Kaki:
(1) Gunung Karai adalah sebuah bukit.

.....bersambung

Hello You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang