Bab 17

2.7K 272 55
                                    

"Lo masih sama suka ngasih harapan dan dengan bodohnya gue percaya atas semua harapan lo."

※※※※※

"HATCHIM!"

Suara bersin terdengar beberapa kali di sela-sela rapat Pensi yang sedang berlangsung. Sudah berkali-kali Diego, selaku pemimpin rapat berhenti berbicara dan menyuruh Davka untuk segera pulang saja namun ditolak mentah-mentah oleh anak itu.

Ia sebagai ketua OSIS tentu saja merasa bertanggungjawab sehingga ia tidak bisa meninggalkan rapat begitu saja. Terlebih lagi di ruangan ini sekarang terdapat Afreen dan tentu saja, ia ingin terlihat sekeren mungkin.

"Nah, untuk masalah anggaran, kit—"

"HATCHIM!"

Lagi-lagi suara bersin kembali terdengar yang seketika membuat Diego segera mengambil ponselnya dari saku celanaya kemudian menelpon seseorang.

"Halo," ujar Diego setelah seseorang di ujung telponnya menyahut.

Diego melirik sekilas ke arah Davka yang tengah sibuk membersihkan hidungnya dengan tisu milik Kailasha.

"Han, tolong ini adeknya disuruh pulang aja. Kalo perlu seret aja. Itu hidung udah kayak hidungnya badut."

Mendengar hal itu, sontak Davka membulatkan kedua matanya dan segera berlari ke arah Diego. Ia bermaksud untuk merebut ponsel milik sahabatnya itu. Bukannya ia tak suka. Hanya saja kakaknya itu pasti akan memarahinya dan mengurungnya seharian bila ia ketahuan sedang flu. Terlebih lagi ia merasakan kedua matanya memanas dan sepertinya ia sedikit terserang demam.

"Kita di ruang OSIS!" ujar Diego dengan cepat dan tepat setelah ia mengucapkannya, ponsel Diego berhasil direbut oleh Davka.

Mengetahui bahwa Diego sudah terlebih dahulu mengatakan keberadaannya, disitulah ia mulai pasrah akan nasibnya beberapa jam kemudian. Suara tawa seketika memenuhi ruangan dimana rapat pensi itu tengah berlangsung.

Baru saja Davka hendak memarahi teman-temannya yang lain, tiba-tiba pintu ruangan OSIS terbuka dengan lebar menampilkan tubuh Raehan dengan penampilannya yang acak-acakan.

"Hello bang!" ujar Davka berbasa basi. Namun dilihat dari kerasnya wajah Raehan saat ini, dapat disimpulkan bahwa hal yang Davka lakukan memang tidaklah cukup.

"Pu-Lang!" Dan titah sang Raja pun mulai terdengar membuat Davka yang selalu merasa menjadi rakyat jelata pun hanya bisa menurut dan pergi begitu saja dari ruangan itu.

Beberapa menit setelah kepergian Davka, ruangan yang tadinya hening kini menjadi riuh. Banyak anak-anak yang menertawakan nasib sang ketua OSIS mereka.

Dan diantara wajah-wajah penuh derai tawa itu terselip sebuah wajah yang memancarkan kesenduan dan sedikit rasa iri di kedua matanya. Afreen menghela napasnya. Betapa sempurnanya kehidupan seorang Davka. Lahir di tengah keluarga yang harmonis dan bahkan ia memiliki seorang kakak yang benar-benar selalu ada untuknya.

Sesungguhnya ia sangat iri kepada Davka yang memiliki sosok seorang kakak seperti Raehan. Bagi Afreen, Raehan adalah sosok kakak yang sempurna. Ia bahkan dapat melupakan segala hal bila terjadi sesuatu kepada adiknya itu. Afreen yakin jika Raehan sebelumnya berada di tengah latihan basketnya namun ia lebih memilih untuk menyeret paksa adiknya supaya pulang dan beristirahat.

Itu semua terlihat dari peluh yang mengucur di seluruh tubuhnya hingga membasahi seragam tim basket kebanggaannya. Terlepas dari segala sikap kasar yang ia perlihatkan, Raehan benar-benar seorang kakak yang sangat baik.

Seharusnya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang