Bab 23

2.4K 249 58
                                    

"Melupakan itu sakit"

※※※※※

Bila ditanya bagaimana perasaannya saat hari dimana Raehan menyatakan segalanya kepada Afreen, jawaban Afreen adalah ia tidak tahu.

Seharusnya ia senang. Seharusnya ia bahagia. Seharusnya ia bangga. Tapi itu hanyalah seharusnya. Karena pada kenyataanya, hari itu adalah hari yang paling menyakitkan bagi Afreen. Pada hari itu ia akhirnya tahu dan sadar sepenuhnya bahwa cintanya memang bertepuk sebelah tangan.

Saat itu dia disana. Memeluk seorang gadis yang ia yakini adalah Kailasha meskipun ia tak sepenuhnya dapat melihatnya. Saat itu dunianya seakan runtuh. Jantungnya berdenyut sakit dan hatinya terasa perih. Dan begitu saja mulut dan otaknya mengkhianati kata hatinya dengan mengucapkan kata "ya" kepada Raehan.

Kini, ia tahu bahwa selesai sudah waktunya dan ia harus mulai melihat Raehan. Tapi ternyata melupakan tidak semudah kau yang membuang kertas begitu saja. Lenyap entah kemana.

Melupakan itu.....sulit.

Seharusnya ia sadar diri bahwa sosok Davka sejak dulu memang terlalu sempurna untuknya yang hanyalah cewek aneh penyendiri dan dingin. Davka terlalu indah untuk ia miliki. Davka itu terlalu sempurna.

Kini Afreen tak henti-hentinya tersenyum sembari memandang wajahnya di depan cermin besar di kamarnya. Senyum ini. Tadinya senyum inilah yang ia lupakan. Hingga Davka hadir di hidupnya dan dengan mudahnya ia kembalikan senyuman ini di wajahnya.

Afreen menghela napasnya dan menyandarkan tubuhnya di kursinya. Terkadang Afreen merasa bersalah karena terus memikirkan Davka padahal ia sudah dimiliki oleh Raehan. Apakah boleh? Pikirnya.

Ting!

Ponsel Afreen berbunyi dan dengan secepat kilat Afreen membukanya. Berharap pesan itu dari seseorang yang sejak tadi ia pikirkan. Namun harapan itu seketika hancur saat melihat nama si pengirim pesan itu.

Raehan💕

Rin, lagi apa?

*****

"Hari ini, paman datang! Pamanku dari desa! Dibawakannya rambutan, pisang dan say—"

TAK!

"AW!" pekik Davka saat jitakan maut itu kini datang dari Nino, adik dari ibundanya yang berusia 30 tahun. "Sakit, om!"

"Lagian om datang bukannya salim nanya kabar atau apa gitu. Malah nyanyi ga jelas. Awas ah, om mau masuk. Kamu ngapain coba berdiri di pintu gini?!" ujar Nino yang kini sudah mendudukkan dirinya di sofa.

"Om jangan galak-galak dong. Om gak liat apa? Ini adek lagi sakit. Tuh adek ke sofa aja lama banget," ujar Davka dengan wajah memelasnya.

Mendengar hal itu, Nino segera berjalan menghampiri keponakannya itu dan mengangkatnya serta mendudukannya di sofa.

"Kali ini kamu kenapa lagi?" tanya Nino sembari memeperhatikan kaki Davka yang terbalut perban itu.

"Biasa om. Ce-ro-boh," sahut Raehan yang baru datang dari kamarnya dan segera mencium tangan Nino.

"Ish, abang!" sahut Davka kesal.

"Udah-udah, jangan cemberut. Nih om bawain oleh-oleh," ujar Nino yang seketika membuat kedua mata Davka berbinar-binar. "Bunda kalian kemana?"

"Bunda masih di butik, om. Lagi banyak orderan baju nikahan gitu. Mungkin sebentar lagi sampai," sahut Raehan tanpa mengalihkan perhatiannya dari tas jinjing Nino yang berisikan banyak makanan dan barang-barang.

"Tuh, om. Bunda aja sampai kewalahan nerima pesanan baju nikah. Itu tandanya apa coba?" ujar Davka yang cukup membuat Nino kebingungan.

"Tandanya ya... butik bunda kamu bagus. Jadi banyak orang yang percaya sama design keluaran butik bundanya kamu."

"Om salah. Bukan itu jawabannya."

"Trus apa?" sahut Raehan yang kini juga ikut penasaran atas pertanyaan dari sang adik.

"Itu tandanya, akhir-akhir ini banyak yang nikah," ujar Davka dengan wajah menyombong.

"Ya trus, emang kenapa kalo banyak yang nikah?" tanya Nino yang semakin gemas saja melihat keponakannya satu ini.

"Ya tandanya bagus dong, om. Mereka udah nikah. Udah laku. Emangnya om Nino. Masih jomblo!" ucap Davka diikuti tawa yang menggelegar. Terlebih lagi saat ia melihat wajah Nino yang putih itu berubah menjadi merah. Membuatnya semakin tak bisa mengontrol tawanya.

Nino yang emosinya sudah memuncak, segera menghampiri Davka yang tengah terduduk di sofa di hadapannya kemudian ia mengelitiki seluruh tubuh Davka. Ia benar-benar kesal saat Davka menyinggung masalah jodoh di hadapannya.

Bukan keinginannya untuk menunda pernikahan atau sekedar mencari pacar. Bukan. Terlebih lagi di usianya yang sudah menginjak 28 tahun. Bukan usia untuk bermain-main lagi. Hanya saja ia masih belum berani untuk jatuh cinta lagi setelah beberapa bulan yang lalu mantannya pergi meninggalkan di dunia ini saat beberapa hari sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Saat itu Nino sangat terpukul dan mengurung dirinya.

Hingga akhirnya Davka rela untuk membolos beberapa hari hanya untuk menghibur pamannya ini. Itulah yang membuat Nino benar-benar bersyukur karena memiliki keponakan hebat seperti Davka.

"Eh, Nino sudah datang," sahut Dinar yang baru saja tiba dan menghampiri adik ipar sekaligus kedua anaknya.

"Iya, mbak. Baru nyampe saya tadi," ujar Nino yang sudah menyalami Dinar.

"Tadi kamu kesini naik apa?" ujar Dinar.

"Naik taksi mbak."

"Oh yaudah, kamu ke kamar sebelah Davka ya. Udah mba siapin tadi pagi."

"Siap, mba," sahut Nino yang segera berjalan menuju kamarnya.

"Dek, yuk ke kamar. Mau bunda bantu?" tanya Dinar saat ia melihat bahwa anaknya seperti hendak berjalan menuju kamarnya.

"Gak usah bunda. Adek bisa sendiri," ujar Davka yang sedang sibuk dengan kedua tongkatnya.

Baru saja ia berhasil berdiri dan hendak melangkah, salah satu tongkatnya slip dan membuatnya harus merelakan bibirnya mencium kerasnya lantai.

"ASTAGHFIRULLAH, DAVKA!" pekik Dinar dan Raehan yang membuat Nino berlarian menuju ruang keluarga.

"Kenapa?!" tanya Nino yang sudah tiba disana.

"Uh, sakit," ujar Davka sembari mengelus sebelah pipinya yang membiru.

"Kamu ini, ceroboh banget. Hati-hati Davka! Hati-hati!" ujar Dinar yang sudah duduk di hadapan anaknya ini sembari memeriksa keadaan Davka. Ia harap jatuhnya ini tidak memperburuk keadaan Davka.

Melihat anaknya yang tidak memperhatikannya, Dinar mendadak panik. "Kamu masih bisa dengar bunda kan? Davka? Dav!"

"Aku dengar kok, nda. Bunda gak usah khawatir," ujar Davka yang kini sudah memandang sang bunda sembari tersenyum membuat Dinar, Nino serta Raehan menghela napasnya lega.

"Hati-hati kamunya. Kalo sampai kena kepala kan bahaya," sahut Nino sembari mengusap pelan puncak kepala Davka yang sudah berada di dekapan adik iparnya.

"Udah takut banget tadi kita," gumam Raehan yang tak henti-hentinya bersyukur dalam hati.

"Maafin Davka."

[TBC]
⚫⚫⚫

Cerita baruu......

Eh enggak deng. Haha cuma judul baru.....

Chapter ini santai2 dulu aja yah ahahahahaaaaaaa ha....ha....

Haha ohiya. Mau nanya dong, apa yang membuat kalian bertahan baca cerita aneh ini? Hehe meskipun sering aku rombak bahkan sampe ganti judul. Apa ? Ayoo jawab hahaha

Rencananya cerita ini mau ditamatin di bab 25. Tapi kok ya ga nyampe2 puncak konflik ahahaha jadi... maaf ya mungkin cerita ini akan sampe 30 hehehehe

Okedeh see you at the next chapter^^

Seharusnya ✔حيث تعيش القصص. اكتشف الآن