1

157 15 2
                                    

Waktu bergulir begitu cepat, tak terasa sudah 6 bulan lamanya Saufika Anderta atau yang lebih dikenal Fika -seorang gadis berumur 15 tahun, berkulit sawo matang, memiliki bola mata berwarna coklat, dan tatapan tajam- bersekolah di SMAN 31 Bandung. Kini, gadis itu sedang duduk di kelasnya, tak ada niatan sedikit pun untuk ia beranjak keluar kelasnya. Padahal kini sedang waktunya istirahat, tetapi ia malah memilih untuk tetap di kelas dan membaca buku Sejarahnya.

Fika terlihat sangat serius membaca buku Sejarahnya, ia memang sangat menyukai pelajaran itu. Setelah Matematika, Fisika, Kimia, dan Olahraga tentunya.

"Fik, gak ke kantin?" tanya Vania, salah satu teman kelasnya. Fika menggeleng tanpa menatap Vania, ia masih serius membaca bukunya.

"Boleh a-aku ... duduk?" Vania bertanya dengan nada ragu, Fika hanya berdeham masih fokus membaca.

Vania menghela napas panjang, ia sedikit ragu untuk duduk di samping Fika. Karena ia tahu bahwa selama satu semester ini, tak ada yang berani mendekati Fika, bahkan untuk menyapanya pun kadang timbul keraguan.

Seketika itu, suasana menjadi hening. Keduanya hanya diam, Fika asik dengan bukunya, sedangkan Vania sibuk dengan kegugupan dan rasa takutnya.

"Kamu kenapa bisa suka Sejarah, Fik?" Vania mulai memecahkan keheningan yang terjadi, setelah beberapa menit berlalu.

Fika tak langsung menjawab, ia tetap fokus. Setelah beberapa menit diam, akhirnya Fika menutup bukunya dan menyimpannya di atas mejanya. "Karena, Sejarah itu menyenangkan dan mengagumkan. Apalagi jika membahas perjuangan Bung Karno, Bung Hatta, serta pejuang muda Indonesia melawan sekutu. Entah kenapa aku begitu menyukai strategi yang dimainkan oleh mereka dan aku sangat menyukai cara Bung Karno berpidato serta teks pidato yang dibuat oleh Bung Hatta." Fika menjelaskan dengan panjang lebar, Vania menatap takjub Fika. Ia mengerjap lucu seraya menatap Fika tersenyum.

"Baru kali ini aku mendengar Fika berbicara sepanjang itu, sungguh luarbiasa." Vania berkata dalam hatinya.

Tetapi, di satu sisi, ia juga kagum akan jawaban yang diberikan oleh Fika. Ia tak menyangka akan jawaban tersebut. Karena memang sebagian teman sekelasnya pun banyak yang tak menyukai Sejarah.

"Wah, kamu keren, Fik. Jarang sekali anak MIPA yang menyukai pelajaran Sejarah, karena menurut mereka pelajaran itu sangat membosankan," kata Vania membuat Fika mengangkat sudut bibir kanannya sedikit. Membentuk sebuah senyum sinis.

"Yah, begitulah generasi muda zaman sekarang. Kurang kesadaran akan negaranya sendiri dan rasa nasionalisme anak zaman sekarang itu sangatlah kurang. Sungguh miris!" Mendengar balasan dari Fika membuat Vania mematung, ia tak menyangka bahwa Fika akan menjawab seperti itu.

Setelah itu, keduanya diam. Fika kembali membaca bukunya, sedangkan Vania memilih kembali ke bangkunya yang terpisah satu meja dengan bangku yang diduduki Fika.

***

Seoarang pria paruh baya yang memakai kacamata dengan kepala bagian depan yang botak sedang menuliskan rumus-rumus yang membuat sebagian siswa mendesah berat serta wajah yang sangat suntuk. Tetapi, tidak dengan Fika yang malah terlihat sangat bersemangat memperhatikan gurunya.

"Jadi, untuk mencari nilai a, kita perlu mencari nilai x dan y-nya terlebih dahulu. Setelah itu ...." Pak Wicak menjelaskan materi SPLTV (Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel).

"Paham?" Pak Wicak bertanya setelah selesai menjelaskan materi serta sederet rumus yang membuat sebagian siswa menatapnya tak paham.

"Paham, Pak!" seru semuanya dengan malas, kecuali Fika tentunya.

"Baik, jika kalian sudah mengerti, maka akan bapak berikan tugas. Buka halaman 120 dan kerjakan soal nomor 1-10, yang sudah selesai boleh dikumpulkan. Bapak izin mengangkat telpon dulu." Setelah mengatakan hal itu, Pak Wicak berjalan keluar kelas dengan ponsel yang ia tempelkan ke telinganya.

TAKDIR YANG MEMILIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang