6

52 6 1
                                    

Saat ini, Fika dan Hervin sedang bermain three point shoot dan bagi siapa yang bisa memasukan bola, tetapi lawannya tidak bisa memasukan bola. Maka, orang yang tidak memasukan bola akan mendapat hukuman yaitu 1 seri push-up atau 10 kali push-up. Kini, keduanya tengah asik bermain basket, tanpa melihat bahwa anggota pramuka yang lain sedang memperhatikan mereka.

“Udahan, Vin, gerah nih,” kata Fika yang memang sudah  mengeluarkan banyak keringat, sudah 5 kali ia terkena hukuman, sedangkan Hervin baru 3 kali terkena hukuman.

“Yaudah, yuk.” Hervin berjalan terlebih dahulu menuju sekre pramuka yang hanya berjarak 10 meter dari lapang basket.

“Cieee … main basket bareng nih,” goda teman-teman mereka yang tak lain adalah anggota pramuka. Walau mereka berbeda kelas dan jurusan, tetapi kebersamaan mereka dan rasa kepedulian mereka terhadap satu sama lain sangatlah besar.

“Dih, apaan deh kalian,” ujar Fika dengan menyembunyikan mimik wajah salah tingkahnya.
Setelah itu, mereka masuk ke dalam sekre, tetapi saat Fika akan masuk. Tangannya ditarik oleh Hervin untuk mengikutinya, Fika yang terkejut hanya bisa pasrah.

Tak lama mereka tiba di kantin. Fika bingung, mengapa Hervin membawanya ke kantin?, batin Fika.

“Ada apa, Vin?” tanya Fika sat mereka duduk di meja yang berada di tengah.

“Aku mau bilang, kalau aku sayang kamu, suka kamu.  Kamu mau jadi pacar aku?” Fika terkejut dengan ucapan Hervin yang begitu to the point padanya.

Fika menghela napas panjang, setelah ia sadar dari keterkejutannya. Ia menatap Hervin yang sedang menatapnya dalam, lalu berkata, “Maaf, Vin, aku gak bisa.”

Kini giliran Hervin yang terkejut dengan jawaban Fika. “Kenapa?”

“Karena, ada sebuah pemisah dan jarak antara aku dan kamu. Aku gak bisa melewati pemisah itu dan gak bisa mempersempit bahkan menghapuskan jarak yang ada.”

“Maksudnya? Aku kurang paham.”

Fika menghela napas panjang dan membalas tatapan Hervin dengan tatapan tenang yang ia miliki. “Kamu dan aku berbeda. Agama yang kita anut … berbeda.”

Hervin paham dengan pejelasan Fika, ia menghela napas berat. “Kenapa kita gak coba jalanin aja, Fik?”

“Gak bisa dan aku gak bisa pilih takdir aku. Karena memang takdirlah yang memilih, bukan dipilih.” Setelah mengatakan itu, Fika beranjak meninggalkan Hervin yang termenung.

***
Malam harinya, Fika duduk termenung di balkon rumahnya, tatapannya lurus terlihat kosong dan sendu. Helaan napas berat terus terdengar.

"Kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Kenapa Tuhan baru memberikanku pentunjuk saat ini?" gumam Fika.

"Kenapa harus dia? Kenapa Tuhan?" lanjut Fika.

Tatapannya beralih menatap langit malam yang indah, tetapi tidak dengan perasaannya saat ini. Ia sedang dalam keadaan buruk dan berusaha untuk melawan hatinya yang terus berontak.

"Aku jadi merindukan kamu, Kelv, kenapa kamu pergi secepat itu?"

Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi katakan padanya
Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya

Terdengar sebuah lagu mengalun indah di telinga Fika, ia sangat menikmati lagu itu. Lagu yang memiliki banyak makna di balik lirik-lirik sederhananya. Dan lagu yang merupakan lagu kenangan yang pernah dinyanyikan oleh Kelvin -sahabat yang telah tiada-.

***

Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Hervin duduk seraya bermain gitar. Kekosongan terlihat jelas di bola matanya, ia memetik gitarnya dengan nada yang tak beraturan seperti menggambarkan perasaannya saat ini.

"Salahkah jika aku memiliki perasaan ini Tuhan? Apakah aku harus menghapusnya?" gumam Hervin menatap langit membayangkan wajah seseorang.

"Kenapa takdir begitu tega? Seandainya takdir dapat diubah, aku ingin mengubahnya Tuhan."

Lelaki itu menundukkan kepalanya dengan mata terpejam. Mencoba merasakan ketenangan angin di malam ini, walau hatinya sedang gusar. Tetapi, sebisa mungkin ia menutupinya karena ia tahu bahwa tak ada gunanya ia meratapi nasibnya yang telah dirangkai oleh Tuhan sedemikian serupa. Ia berharap bahwa suatu saat nanti takdir akan berpihak padanya walau itu sangat mustahil.

"Aku harap suatu saat nanti kita akan bersama, walau itu sangat mustahil. Kalau pun kita tidak bersama, aku harap kita akan selalu menjadi teman dekat."

TAKDIR YANG MEMILIHDove le storie prendono vita. Scoprilo ora