5

47 7 3
                                    

Satu bulan kemudian, saat ini, Fika dan teman-teman di anggota pramukanya sedang berkumpul dan bersenda gurau. Posisi duduk Fika yaitu di depan Hervin yang kini sedang menatapnya, tetapi ia berusaha untuk tak menghiraukan tatapan Hervin. Ia tetap fokus pada penjelasan Yuviniar  -Pradani Putri- yang sedang membahas project yang akan mereka laksanakan beberapa bulan lagi.

“Nah, jadi gitu kakak-kakak. Apakah ada yang ingin ditanyakan?” kata Yuvi menatap teman-temannya.

Fyi, dalam organisasi pramuka, kita memang diharuskan memanggil kakak satu sama lain -anggota, Pembina, dan pembimbing- tak memandang umur mereka lebih tua atau pun lebih muda.

Satrio mengangkat tangannya dan berkata, “Saya, Kak.”

“Iya, silakan Kak Satrio,” sahut Yuvi.

“Nanti teknis di lapangnya mau seperti apa? Terus nanti akan diadakan jurit malam tidak? Terima kasih, Kak,” ujar Satrio.

“Nah, untuk teknisnya sendiri akan dijelaskan oleh Kak Adif selaku Pradana Putra. Silakan, Kak Adif,” ucap Yuvi.

“Terima kasih, Kak Yuvi. Nah, begini kakak-kakak, saya akan memaparkan teknis saat nanti acara.” Adif mulai mengeluarkan suara dan menjelaskan teknisnya secara rinci.

“… untuk jurit malam, kita akan lihat sikonnya nanti, apabila malam harinya turun hujan yang membuat kita tidak memungkinkan untuk melakukan jurit malam. Maka, jurit malam ditiadakan, tetapi apabila kondisi malam harinya cerah. Maka, jurit malam diadakan. Bagaimana paham?” Semuanya mengangguk mengerti dengan apa yang telah dijelaskan oleh Adif.

***

“Fik, kamu tahu gak kalau Hervin suka sama kamu?” kata Yusmia yang pada saat itu memang sedang di kantin bersama Fika.

“Kamu tahu dari mana?” tanya Fika heran.

“Dari orangnya langsung lah, dia yang bilang kok.” Fika terkejut dengan penuturan Yusmia, tetapi ia berusaha mengontrol ekspresinya.

“Kamu juga suka sama Hervin, ‘kan?” Yusmia tersenyum menggoda, tetapi fika hanya menatap Yusmia dengan tenang.

“Entahlah.”

“Kenapa begitu?”

“Aku juga gak tahu, Yus, mungkin aku hanya menganggumi Hervin saja.”

“Kenapa kamu bisa bilang begitu?”

“Hmmm … jujur, aku belum pernah berpacaran, tetapi aku pernah merasakan dicintai.”

“Dicintai siapa?”

“Sahabatku, tetapi itu dulu. Sekarang dia telah pergi meninggalkanku. Dulu dia pergi tanpa memberitahuku terlebih dahulu, waktu itu aku mencari dia yang menghilang dan lenyap seperti debu yang terbawa angin. Tetapi, 1 minggu setelah dia pergi, aku mendapatkan kabar bahwa dia telah meninggal dunia.” Fika berhenti sejenak, ia merasakan dadanya sesak apabila mengingat itu semua –kenyataan pahit yang harus ia terima beberapa bulan yang lalu-.

“… karena, penyakit tumor otak yang dideritanya selama 1 tahun terakhir ini. Aku terkejut dan entah harus bagaimana pada saat aku mendengar kabar itu.”
Yusmia terkejut mendengar cerita Fika, ia sama sekali tak pernah menduga akan kisah yang sangat menyedihkan dan sulit untuk Fika. Karena, selama ini Yusmia melihat Fika sebagai pribadi yang tegar, bijaksana, dewasa, misterius -sulit ditebak-, dan tegas. Tetapi ternyata inilah kisah di balik sosok Fika yang selama ini ia kenal.

“Terus, kamu … nangis saat tahu kabar itu?” tanya Yusmia dengan hati-hati.

Fika terdiam, mencoba menahan keinginannya untuk berteriak akibat sesak yang membelenggunya begitu erat. “Tidak, karena aku tidak bisa menangis di depan banyak orang. Setelah mendengar kabar itu, sepulang sekolah aku lantas bermain basket. Melampiaskan segala amarah, kekesalan, kesakitan, dan rasa sesak yang ada di dalam diriku.”

Yusmia terkejut mendengarkan pengakuan Fika, lagi-lagi ia mendengarkan pengakuan yang sangat tak terduga. “Ken–“ Belum sempat Yusmia berkata, Fika sudah memotongnya terlebih dahulu.

“Cukup ... kembali ke topik semula, oke?” Yusmia menghela napas, lalu mengangguk.

“Kalau nanti Hervin menyatakan cinta sama kamu, apakah kamu akan terima?” Fika tak langsung menjawab, ia diam dan berpikir matang-matang.

“Hervin agamanya apa?”
***

TAKDIR YANG MEMILIHWhere stories live. Discover now