silent

248 17 11
                                    

PAMELA tidak masuk hari itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PAMELA tidak masuk hari itu. Ia menemaniku.

   "Sakit." katanya, sewaktu kepalaku meneleng penasaran. Terkadang, tidak dihiraukan atau malas adalah jawabannya. Yang mana pun bukan masalah. Jadi, aku mengangguk dan tunduk. Terus mengunyah.

   Kakiku terikat. Simpulnya membelit lututku yang menyelonjor di tempat tidur. Jemarinya menggosong dan memar. Terkadang Pamela mengamati mereka sembari duduk, kemudian bertanya, Siapa pelakunya? atau Bagaimana perasaanmu? terhadapku. Haruskah aku turun dan mengatakannya pada Mom? Haruskah kupanggil polisi? Haruskah mereka membawamu pergi? Sekadar menguji. Yang kulakukan hanya harus menyentuh dadaku, lalu memiringkan telunjuk di kening dan kutarik perlahan.

   Seringnya itu membuat Pam menyeringai hingga memberiku gandum sedikit banyak. Artinya, aku berhasil.

   Kalau tidak sanggup, diam saja cukup.

   Hari itu, tidak dilakukan sesi tanya-jawab. Tidak menyinggung gandum atau makanan. Tubuhnya berjarak dengan ranjangku, menyekat kami oleh parut kesenjangan. Sudah sepantasnya, karena kemudian gadis itu memaku mataku. Membuatku mengerut serupa cacing kebun. Menyadari sesuatu yang harusnya dia sudahi sedari dulu.

   Aku tidak bersuara. Tentu saja tidak untuk kali itu. Aku tengah menunggu kisah-kisah luarbiasa.

   Aku ingin mendengarnya tertawa, seperti ketika dia bercerita padaku tentang celana Jase yang robek sewaktu menggerakan pinggul dan kaki di materi senam irama; atau ketika Pam tak sengaja menyenggol seseorang hingga terjatuh dan wajahnya menimpa kotoran sapi; atau ketika Pam membawaku lari ke kamarnya karena dia ingin menyelamatkanku dari Sapu yang Jahat, padahal aku baru saja menyentuh tikus; atau ketika Pam mengajariku caranya berimajinasi. Aku ingin mendengar semua itu, dan merasakan atmosfer kami menghangat setelahnya.

   Tetapi, saat Pam bilang bahwa dia telah gagal dalam banyak hal, aku tahu perkiraanku tak pernah benar.

   Pamela menatapku, seolah hanya aku yang bertanggung jawab. Kupalingkan wajah, namun itu malah membuatnya menggondok. Dia mengumpat. Dia mengentak meja, sampai satu dari tangan-tangan itu meraih daguku.

   Kupikir ini berarti tamparan untuk yang entah keberapa, tapi Pam sudah menjadi orang baik. Aku percaya. Aku selalu berharap.

   Tidak selamanya gerakan itu berarti tamparan. Kemudian, Pam mencekikku.

   Aku masih sanggup tidak mengeluarkan suara, karena Pamela melarangku suatu hari, di malam yang gelap nan berhujan, saat dunia-dunia berubah fana dan berjungkirbalik. Karena, menurut Pam, aku seorang teman bermain. Menurutnya, aku lucu. Sekarang ia meneriakiku bodoh, dan payah dan pecundang. Pam menjambak rambutku. Mengempas tubuhku. Ia menyebutku si tidak punya tujuan, berteriak-teriak seperti manusia kesetananan. Awalnya kupikir Ayah atau Ibu bakal segera datang, tetapi melihat kenop kamar belum kunjung didobrak, aku menyadari sesuatu: mereka tak akan kembali.

   Aku tak bisa berpikir bila terus seperti ini. Tapi aku memang tak pernah bisa berpikir. Kata Pam, aku tak diizinkan untuk berpikir. Aku paham itu. Mereka membiarkanku tersisa bersamanya, di tengah kamar yang seumpama kapal pecah dan darah-darah. Aku dilarang merasa keberatan. Mengapa harus keberatan?

   Karena ia simbolis. Absolut, wujud segalanya. Hubungan kami dinamakan Sepakat Seumur Hidup. Seperti penumpang dengan pihak yang mau menerima. Pamela bilang, aku semut dan ia tuhan dengan sandal mahabesar. Aku dilarang menyanggah itu.

   Orang berpendapat jikalau sesama wanita diciptakan supaya saling melindungi.

   Pamela menyekapku.

   Belakangan ini, aku pelampiasannya. Ia nyaris selalu melempariku dengan barang. Itu bukan perkara serius, karena memang aku dilarang menganggapnya demikian, sampai kurasa di satu hari ketika Natal, aku mendengar bantingan-bantingan. Dari bawah tangga. Mungkin itu Ayah, atau Ibu, atau Jase yang Jahat, tetapi kepedulianku lama terenggut. Pamela segera naik kemudian tersenyum. Dia berkata, tidak apa-apa, aku harus terus mengunyah, hingga rahangku lumpuh.

   Aku baik, selama kakiku masih terikat, selama kedua mataku masih sanggup berputar mengawasi kamar. Kau tak boleh mengasihaniku, atau Pam membunuhmu esok hari.

   Sewaktu kudapati ia memunggungiku, aku sadar bila pada kenyataannya aku tak perlu kasih sayang. Pam mengurusi sesuatu. Itu makan malamku, karena denting pisau dengan garpu terkumandang. Mungkin Pamela menyuapiku tahun ini. Mungkin malah pergi. Aku senang saat bubur berair itu meluncur ke lubang hidungku. Sensasinya seperti mati sekejap, karena luarbiasa sakit di sekian detik. Terkadang jalinan besi dalam kerongkonganku tidak menerimanya sehingga aku terbatuk, dan terbatuk lagi dan terbatuk lagi. Pam bilang aku dilarang terbatuk, jadi ia menamparku dengan garpu di tangannya.

   "Hei," Pam bicara. "ini membosankan."

   Aku ingin berkata jika ia boleh melakukan apa pun sekehendaknya, bahkan sampai membuat sebuah revolusi sains, atau mencoba menyaingi Einstein dan membawa pria-pria yang berbeda ke rumah setiap minggu. Tetapi aku bergeming, karena Pam tidak mengizinkanku untuk bersuara. Tidak sedesis pun. Tidak sebisik pun. Karena aku bonekanya. Aku adalah seorang teman bermain.

   Saat ini Pam di atas tubuhku dan dia menyeringai dalam-dalam. Mangkuk makanku dipegangnya, namun sedikit goyah, sehingga cairan berwarna kuning membasahi leherku. Rasanya agak panas, tetapi bukan masalah. Pam menyuruhku memandang mata pekatnya, jadi aku melakukannya. Dia juga kembali berteriak padaku. Dia memanggilku pengkhianat. Dia mulai menangis. Dia menyeru jika aku yang menyebabkan semua ini terjadi. Pam bilang dia mencintai orangtuanya sampai mereka malah melihatku sebagai orang yang selalu terbaring. Mereka tidak melihatnya lagi. Saat nilai-nilai Pam meningkat dan ia memperlihatkannya, mereka tengah memihakku. Mereka mengabaikannya, padahal ia yang anak kandung. Padahal sebelum-sebelum itu, mereka masih orangtuanya. "PADAHAL SEBELUM-SEBELUM ITU MEREKA BUKAN ORANGTUAMU!" Pam tersengguk di sela tangisan dan terbatuk-batuk. Aku masih terdiam, bahkan ketika sesuatu yang panas menyeruak di tenggorokanku.

   Aku tidak bersuara kali itu. Tidak untuk hari itu. Karena aku dilarang. Karena aku sudah kehilangan suara.

   "Mereka mati," katanya, kemudian menurunkan air itu ke mataku.

   Membuatku tertidur. []

2018

creatures.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang