gotta be a reason

207 13 19
                                    

TIGA menit, sepenjuru lapangan terpusat padanya ketika perempuan itu berderap menuju ruang konseling.

     Selayaknya kemarin, ia mengenakan satin marun selutut, dengan syal bergaris membelit leher dan topi pantai di kepalanya. Rambut kepirangan itu dahulu disanggul, namun kini dibiarkan tergerai. Hidungnya masih paling bangir sesekolah. Kaki-kaki yang menopang postur sempurnanya loyal memakai selop. Merah mengilap. Begitu mencolok nan kentara, hingga Rashid, remaja tanggung yang Senin ini berbaris di sebelahku, tidak teralih pandangannya walaupun kusenggol ribuan kali.

     Ia sudah gila.

     Aku menyikutnya lagi. Rashid tersadar dan membelalak padaku.

     "Upacara, cuy." tegurku. Atau kamerad-kamerad yang menyebut dirinya OSIS akan menyeretmu keluar lapangan.

     Namun, telinganya menuli---atau demikian yang terjadi sewaktu kami membicarakan gadis-gadis SMA ini, termasuk konselor baru itu: ucapanku akan mengambang tanpa respons, sedang Rashid asyik berfantasi sendiri. Dalam hal positif, kuharap. Aku mendengus. Sementara seorang guru sibuk bermaklumat tentang ujian nasional yang tinggal sedekat nadi, tampang cowok ini kembali cemerlang tatkala mulutnya berbisik, "Kamu tahu, Freyja? Aku berencana mengencani Miss Sewell petang nanti."

     Demi langit!

     Sekeren mungkin aku berupaya untuk tidak cemburu.

     "Kesambet?"

     "Beliau cantik."

     Dasar jelalatan. Bianca IPS-1 juga dibilangnya cantik semenit lalu. "Perlu kupanggilkan ustad buat merukiahmu sepulang sekolah?"

     Rashid mencebik. "Serius. Aku bisa jadi Edward Cullen kalau---"

     Kuinjak kakinya sampai kasihku ini mengaduh pelan. Miss Sewell, konselor itu, di bawah standar. Kristen Stewart tak tergantikan. "Pasal 2 ayat 1 SMA Perwira, Rashid: jangan mengobrol saat upacara berlangsung."

     Lalu, kontan saja beberapa murid melirik kami. Beberapa bahkan terkikik ngeri. Aku mengutuk lidahku. Mengapa kuladeni, sih?

     Berita buruknya adalah: semula kupikir pembicaran ini masih dalam frekuensi samar dan terkendali. Benar, saking samarnya, sampai menggelitik telinga satu pejuang OSIS di pojok barat lapang. Kalau tidak keliru, namanya Magenta. Sebelas IPS-3. Singa Sekolah, preman necis dari pasangan konglomerat yang mengurus SMA kami---itu berarti, sekali mengusik teritorialnya, tamatlah riwayatmu. Namamu bakal terdaftar dalam pinky notes mungilnya yang mungkin memang lelucon, lalu berakhir sebagai kentang di ruang konseling. Diberondongi pertanyaan, perjanjian, dan tugas esai sepuluh halaman.

     Rashid mendambakan ada di sana. Aku yang tidak.

     Mampus. Kami dengan Magenta hanya terhalang empat banjar dan aku sudah kehabisan oksigen.

     Kupasang tampang kalem---meski persentase hidupku menipis---sewaktu gadis itu menyisir murid-murid dengan muka antagonisnya selagi berjalan kemari. Aku tengah tersenyum seperti anak manis ketika lenganku mendadak ditarik, namun tidak sampai belakang.

     Di ambang keheranan itu, seseorang yang kuduga Magenta menjejalkan kertas dalam tanganku, kemudian auranya memudar.

     Kertas itu kasar dan bebercak kuning, kecil lagi serampangan, semacam sengaja disobek dari buku lama. Kutebak asumsiku benar, karena isinya tertulis: to be or not to be---hidup, atau mengakhiri hidup. Kutipan Hamlet, William Shakespeare. Undangan formal beriring nama pengirim yang tersemat setelah kalimat itu menjelaskan segalanya:

     Sehabis upacara, pintu saya terbuka untukmu. Ajak Ophelia.

     Sewell J.K.

     Ha!

     Kulirik Rashid, meminta pendapat. Tetapi sikap sempurna dan raut seriusnya seolah menegaskan kami tak pernah bicara. []

2018

creatures.Where stories live. Discover now