monolog

292 19 7
                                    

   "BELUM tidur?"

   Aku menoleh. Pemuda itu mendekat dengan secangkir cappucino dan senyum terkembang.

   "Menurutmu?" Suaraku meninggi. Namun, entah kelewat sinting atau selalu tertarik gravitasiku, ia mengambil duduk. Cekatan saja, balkon kami sudah terisi pemilik-pemiliknya.

   "Mengamati bintang?" tanyanya, terkekeh.

   Kepalaku menengadah. "Malam ini, konstelasinya virgo."

   Pemuda itu memeluk kaki sepertiku. Walaupun remang, sorot kelabunya hampir kulihat dengan jernih. Sewaktu bertanya mengapa korneanya berwarna begitu, pemuda itu cukup tersenyum.

   Persis saat ini.

   "Zodiakmu."

   Bahuku mengedik. "Benar. Tapi perfeksionisnya nggak dihitung. Memangnya aku Hitler? Aku masih bersyukur."

   "Bukan Hitler. Kamu putri jenderal Nippon dan aku romusha-nya yang memerhatikanmu diam-diam dari balik cangkul." Ia mengerling.

   "Gombal."

   "Toh, kamu suka." Sekarang, tawanya malah menjadi setelah tersedak kopi sendiri. Karena menular, bibirku tersungging juga.

   Kemudian, sekali lagi, aku menoleh padanya. Mengamati bagaimana kemeja bergarisnya terlipat-lipat akibat goncangan geli pemuda itu. Memandangi bagaimana irisnya menyipit. Bagaimana aroma keringatnya tidak lagi kupedulikan karena konversasi kecil ini.

   Di kehidupan sebelumnya, kami saling mengenal. Kepalaku membisikkan ia bernama Jafar.

   Ketika kupanggil begitu, pemuda itu melirik. Air mukanya sedikit kaget. Menyadari yang hendak kukatakan.

   Aku mematuhi akal. "Kamu jadi sering mampir."

   Senyumnya lantas memudar, tidak semenyenangkan sesaat lalu. "Soalnya, dulu aku menyakitimu. Aku mencintai orang lain."

   "Jadi, ini tebusan dosa?"

   "Iya."

   Telat. Keping hatiku sudah berserakan.

   Sewaktu aku berdiri, pemuda itu mengikuti. Akhirnya kami berhadapan.

   "Dengar, sesungguhnya bukan masalah kamu demikian. Kakak tingkatmu cantik---"

   "Kamu mencintaiku." potongnya.

   "Bagaimana aku nggak mencintaimu?"

   Kemudian tangannya terbentang seolah menyambutku. Matanya menyipit sayu, setenang samudera. Mengajak seorang gadis meninggalkan jasadnya lebih cepat malam ini.

   Mengabaikan pemuda itu, langkahku mendadak bergerak menuju pagar pembatas. Tanpa komando.

   Namun, tidak menaikinya.

   Aku berhasil melawan dan badanku berbalik memeluknya.

   "Selamat tinggal." Aku membisik. Selanjutnya, Jafar menghilang sekerjapan mataku. Kembali menjadi jiwa yang membubung tinggi. []

2018

creatures.Where stories live. Discover now