6

11.7K 1.4K 74
                                    

Lengkap di Karyakarsa ya. Sampai ekstra part juga. Yg ini belum ada di Playstore ya. Next mungkin.

🍁🍁🍁


Kinara mengerjapkan matanya beberapa kali guna menyesuaikan retinanya dengan pencahayaan kamar ini. Sesaat ia seolah berada di dunia lain yang jauh dari tempatnya. Ini di mana? Otaknya kini tengah berjuang mencerna keadaan sekitar, sedangkan tubuhnya tak bergerak.

Kenapa berbeda dengan kamarnya? Kinara lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan ini. Kamar luas dengan dominasi warna putih dan lightcyan yang tampak serasi dengan gorden cantik warna senada, memberi kesan feminim. Lemari putih dengan empat pintu, sepasang meja dan kursi terletak tepat di depan jendela, dan kursi kayu panjang di sudut lain, membuka memori yang lama ia tutup.

Ah, Kinara menepuk dahinya dengan keras. Kenapa ia bisa lupa? Mungkin sekarang ia berada di rumahnya, tapi kenapa ia terbangun bukan di kamar miliknya? Apa papanya menyuruh orang lain mengubahnya? Sudahlah! Kinara tak peduli. Ia memilih turun dari ranjang, berjalan mendekati jendela yang terbuka. Rupanya langit cerah berganti kelam. Kinara tersenyum, menurunkan kelopak matanya, dan menginstruksikan indra penciumannya bekerja. Ah, betapa rindunya ia dengan aroma udara di sini, seperti obat bagi sakitnya.

Lama ia menatap hamparan cahaya di kaki langit, Kinara beranjak dari jendela tepat saat jam dinding berbunyi. Delapan malam. Itu artinya ia tidur cukup lama. Saat turun dari pesawat—ia dipaksa naik—kemudian melanjutkan perjalanan dengan mobil menuju rumahnya rasa kantuk mulai menderanya. Ia lelah terus mendebat Gara yang tidak mau mengalah. Sebenarnya apa tujuan laki-laki itu membawanya pulang? Sungguh membingungkan.

Kinara menghela napas lalu berbalik berjalan ke kamar mandi, mungkin dengan mandi ia bisa memperoleh kembali tenaga yang hilang. Benar saja, setelah satu jam berendam tubuhnya kembali segar dengan rasa lelah yang hilang entah ke mana. Tapi satu masalah muncul, ketika perutnya perih minta diisi. Ia bahkan lupa apa hari ini ia sudah makan atau belum? Kinara memakai kembali baju yang melekat di badannya saat Gara memaksanya pulang.

Pintu di ketuk dari luar kemudian terbuka menampilkan sosok perempuan paruh baya dengan celemek melekat di tubuh mungilnya. "Non, waktunya makan malam." 

"Iya, Bik. Sebentar lagi aku turun."

"Non, kata Den Gara baju-baju Non di lemari. Bibi permisi dulu ya, Non," pamit perempuan itu dijawab anggukan oleh Kinara.

Kinara membuka lemari besar di depannya, tampak tumpukan baju-baju rapi juga underwear. Ia mengambil satu blouse biru muda dari katun polos. Baju itu memiliki kancing kecil-kecil di bagian depan. Masih baru meski labelnya telah lepas dan sepertinya semua baju-baju itu sudah dicuci. Tidak lupa rok hitam lurus di bawah lutut. Setelah berganti pakaian Kinara turun ke ruang makan.

Pria itu sudah di meja makan. Menyantap makanan dengan santai dan seolah-olah hanya ada dia di sana. Gara bahkan tidak perlu repot-repot menyapa atau sekedar basa-basi padahal Kinara ada di sini karena paksaannya.

Kinara pun bersikap sama dengan Gara. Ia tidak akan menganggap pria itu ada. Dengan segera ia mengambil makanan dengan porsi kecil, ini sudah lewat dari waktu biasanya dia makan malam. Gara memanggil Bik Nah untuk membuatkannya kopi untuk diantar ke ruang kerjanya. Kinara mengunyah makanannya dengan pelan, tak peduli apa pun tindakan Gara.

"Non."

"Ya, Bik?" 

"Kenapa makannya sedikit? Pantas Non kurus begitu." Bik Nah sepertinya orang cerewet, Kinara senang ini pertama kalinya ada yang peduli dengannya selain teman-temannya.
"Makan yang banyak, Non. Kalau bosan sama makanannya?  Non bisa minta Bibi buatin yang lain." 

Ia mengangguk. "Ya, Bik,” jawabnya dengan senyum tersungging. Kinara menyudahi makannya. Ia tak ingin menahan Bik Nah untuk segera istirahat. "Aku bantu ya, Bik." Kinara bangkit dari duduknya, ia mulai membantu membereskan meja.

"Tidak usah, Non. Nanti Den Gara marah," cegah Bik Nah. Dia tidak ingin dapat teguran keras dari tuannya.
    
"Enggak apa-apa, Bik. Aku sudah biasa kok." Kinara tidak ingin mendengar penolakan dari Bik Nah. Dengan cekatan ia mencuci juga mengeringkan peralatan masak dan makan. 

Setelah semuanya beres, Bik Nah pamit beristirahat, Kinara sendiri memilih masuk kembali ke kamarnya. Setelah ganti pakaian dengan piyama, menggantung baju tersebut kemudian naik ke tempat tidur. Kinara berusaha menutup matanya meski tidak merasa ngantuk.

🌰🌰🌰 

Gara berdiri di depan jendela ruang kerjanya yang menghadap langsung ke lapangan untuk melatih kuda-kuda setiap pagi. Kedua tangannya di dalam saku celana bahannya. Sorot matanya tak terbaca. Entah setan apa yang merasuki dirinya hingga membuatnya mengambil keputusan bodoh dengan membawa Kinara kemari.

Melihat wanita itu mengingatkan dirinya pada Vina. Andai saja Vina bertahan mungkin adiknya masih bisa ia lihat, bisa ia manja. Hingga detik ini Gara terus bertanya-tanya, apa yang membuat Kinara membenci Vina? Gara akui kadang Vina menyebalkan tapi dia orangnya ramah juga supel. Adiknya tidak pernah membuat masalah, Vina juga tidak pernah terlihat punya musuh, tapi mengapa Kinara begitu tidak suka dengan adiknya? Mungkinkah Kinara cemburu pada Vina karena Aries lebih sayang pada adiknya? Bisa saja. Tapi apakah karena itu nyawa Vina jadi taruhannya? Sungguh tidak seimbang.

Di pikir seperti apa pun, ia tak akan mendapat jawabannya kecuali Kinara wanita itu membuka mulutnya. Sungguh semua ini membuat Gara lelah. Ia ingin pulang ke tempat asalnya, hidup damai tanpa ada kebencian di dalamnya. Semua itu akan terwujud jika ia bisa menyelesaikan tugas yang ia emban di sini. Ia harap semuanya segera berakhir dan hidup tenang.

Namun, ia akui, tidak hanya ketenangan yang ia cari. Gara ingin membentuk sebuah keluarga. Ada kebutuhan yang tidak bisa ia kontrol selamanya. Ia juga tak mungkin terus-menerus hidup berselibat. Ia ingin ada yang menyambutnya saat ia pulang bekerja, ada tempat berkeluh-kesah, ada tempat untuk ia bermanja, bermain bersama anak-anaknya, merasakan menjadi orang tua juga suami seutuhnya.

Tapi sepertinya keinginan itu harus ia kesampingkan dulu untuk sementara waktu sampai masalah hak waris ini selesai. Jika urusan ini selesai saat itu juga ia akan pergi meninggalkan rumah ini. Namun, ia ragu melihat Kinara akan menerimanya dengan mudah, perempuan bermata sendu itu pasti akan mendebatnya. Ia harus memikirkan cara agar Kinara tidak menolak hak warisannya.

Ia mengambil ponselnya di meja, mendial nomor yang sering ia hubungi.

"Halo, Pak Johan. Besok tolong datang ke rumah, kita akan membuka surat wasiat Papa."

"Baik, Pak. Mungkin pukul sembilan pagi saya sudah di sana."

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Pak, sudah tugas saya."

Ia meletakkan kembali benda pipih tersebut di meja, kemudian keluar dari ruang kerja menuju kamarnya.
Besok pagi-pagi ia sudah harus berada di istal melatih kuda-kuda yang akan disewa dan dipergunakan untuk pertandingan olahraga. Ia melangkah dengan pelan, gema langkahnya hampir tidak terdengar. Gara naik ke lantai dua, sebelum menuju kamarnya ia melihat ke arah pintu kamar Kinara. Sengaja ia menempatkan wanita itu di kamar yang lain bukan di kamarnya yang dulu, karena ia ingin menjaga jarak dengan Kinara.

Menjaga jarak? Gara sendiri bingung kenapa harus begitu. Di satu sisi ia punya kebencian untuk Kinara, tapi di sisi lain ia selalu memikirkannya, seperti ada benang merah tak kasat mata yang mengikat mereka, meskipun saling membenci tapi selalu ada celah yang membuat mereka berdekatan.

Sudahlah! Sudah cukup berpikir ia berpikir keras hari ini. Sekarang yang dibutuhkannya adalah tidur. Ia perlu tenaga lebih menyeleksi kuda-kuda di kandangnya. Pria jangkung itu membuka kemudian menutup kembali pintu kamarnya dengan pelan. Ia merebahkan diri begitu melepas kaus yang ia pakai, tak berapa ia pun sudah terbawa ke alam mimpi. 

🌰🌰🌰



Waiting For Love (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang