8

11.6K 1.4K 99
                                    

♥️♥️♥️

Pagi menjelang, Kinara turun ke dapur. Seperti biasa ia membantu Bi Nah memasak. Ia membuat kopi untuk Gara dan teh hangat untuk dirinya. Sudah dua minggu ia di sini, selama itu juga dirinya hanya duduk-duduk tanpa ada yang bisa ia kerjakan. Ia sangat bosan, selain itu utangnya pada Gara akan terus bertambah. Bagaimanapun ia harus mencari pekerjaan sambil menunggu surat-surat peralihan warisan selesai dan pria itu mengembalikan barang-barang penting miliknya. 

Selain itu apa enaknya tinggal bersama dengan orang asing. Ya baginya Gara orang asing sebab laki-laki itu jarang bicara padanya bila tidak ada perlu. Mereka hanya bertemu saat makan malam. Itu pun hanya sebentar kemudian pria berhidung mancung tersebut masuk ke ruang kerjanya dan akan keluar setelah Kinara tertidur.

Dia menarik napas dalam-dalam dan panjang, untung saja Kinara sudah menelepon Miss Reina memberi kabar bahwa ia mengambil cuti sampai masalah di sini selesai. Dia juga menceritakan semuanya agar bosnya mengerti. Miss Reina tidak mempermasalahkannya, bahkan jika sewaktu-waktu Kinara butuh pekerjaan ia bisa kembali bekerja di tempatnya.

Sementara itu, derap langkah panjang dan berat terdengar mendekat ke arah dapur. Gara memperhatikan punggung kurus wanita itu. Ia sengaja membiarkan wanita itu dengan dunianya asal tidak membuat kacau di sini. Ia juga tidak bertanya apa yang dia lakukan atau pergi ke mana, selama Kinara tidak berulah Gara akan diam saja. Gara memutus pengamatannya lalu mengambil koran. Membaca bagian bisnis, saham, dan politik. Ia harus sering memantau pergerakan nilai saham kalau tak ingin rugi.

"Apa kamu sudah mulai mengurus surat-surat peralihan hak waris itu?" tanya Kinara yang kini sudah ada di depannya. Ia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Belum. Lagi pula tidak akan ada peralihan," jawab Gara dingin kemudian melipat koran yang ia baca untuk diletakkan kembali pada tempatnya. Ia mulai mengambil makanan dan menikmatinya.

"Kenapa? Aku tidak mau warisan ini. Aku ingin ini semua cepat selesai dan pulang ke tempatku.”

Gara diam tapi sorot matanya memancarkan amarah. Keadaan yang semula tenang mulai terusik kini mulai tegang. Bi Nah yang menyadari jika kedua majikannya mulai bersitegang memilih keluar.

“Harusnya kamu segera menyelesaikan perpindahan hak waris ini agar tidak berurusan lagi denganku. Selain itu anggap saja semua ini upah mengurus papaku.”

"Apa kamu pikir aku sepicik itu? Asal kamu tahu tanpa warisan sialan itu aku sudah cukup kaya." Gara menggeram karena perempuan itu suka sekali memancing emosinya.

Kinara mengedikan bahunya acuh. "Mungkin saja, kan? Aku kan tidak tahu apa yang kamu pikirkan.” Kinara menyeruput teh hangat di depannya. "Apa ada pekerjaan yang bisa aku lakukan? Aku bosan di rumah terus. Lagipula aku juga butuh uang. Tidak mungkin aku memakai uangmu terus."

Gara tidak menyahut, pandangannya lurus padanya. Tatapan pria itu seolah-olah menelanjangi dirinya dan menembus lapisan bajunya. Kinara jengah dipandangi seperti itu karena kini bulu halus di sekujur tubuhnya pun mulai meremang. 

"Apa kartu yang aku berikan tidak cukup?" ujarnya tanpa mengalihkan tatapannya. 

Kinara meniup-niup teh di hadapannya meski sudah dingin. Ia berusaha bersikap biasa saja tidak terpengaruh dengan intimidasi dari pria tinggi ini. Kinara pikir tinggi Gara kurang lebih mencapai 180 sentimeter. "Tidak, lebih dari cukup malah. Hanya saja aku tidak mau utangku bertambah terus. Lagipula aku terbiasa bekerja," ucapnya. 

Waiting For Love (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang