Yang Pernah Meminta

1.7K 154 33
                                    

Dek, boleh samperin aku di feb?

Saya yang baru selesai kelas pukul dua siang itu, mendapatkan pesan singkat dari Kenar yang tiba-tiba meminta saya untuk mengunjunginya di gedung fakultasnya. Padahal setahu saya, harusnya Kenar masih ada di kelas dan baru akan selesai pukul tiga.

Tanpa berlama-lama, saya langsung berjalan menuju gedung fakultas ekonomi, meskipun jaraknya cukup jauh dari fakultas saya. Ya, tidak jauh juga sih, tapi setidaknya masih dapat dijangkau dengan berjalan kaki.

Sekitar sepuluh menit saya berjalan, saya tiba di tempat tujuan dan langsung disuguhi dengan pemandangan Kenar yang sedang terduduk lemas di kursi lobi fakultas bersama salah satu temannya, Jonatan.

Buru-buru saya menghampiri mereka, lalu bertanya kepada Jonatan. "Kaken kenapa, kak?" Tanya saya, sambil melihat Kenar yang dibalut dengan jaket hitamnya, menunduk sambil memeluk tubuhnya.

Oh iya, Kaken itu singkatan dari Kak Kenar yang sudah saya gunakan untuk memanggilnya selama dua tahun terakhir ini.

"Nge drop kayaknya badannya, Ki. Gara-gara beberapa hari kan balik tengah malem terus kan ngurusin acara. Lagi musim pancaroba juga sekarang," Jawab Jonatan.

Saya jadi merasa bersalah. Setelah hampir dua minggu kami tidak bertatap muka secara langsung, saya malah dipertemukan saat Kenar sudah jatuh sakit seperti ini. Bahkan dua minggu itu juga saya jarang menanyakan kabarnya, melainkan dirinya yang selalu bertanya mengenai saya.

"Balik yuk, kak. Aku yang nyetir," Ajak saya. Lalu memegang dahi dan lehernya untuk mengecek suhu badannya yang ternyata cukup panas.

Dia menangguk pelan, lalu berdiri dari kursinya sambil membawa tasnya. "Balik dulu, Jo." Pamitnya yang disambut oleh Jonatan dengan garis senyuman dan anggukan.

Ia mengamit tangan saya disaat perjalan kami menuju parkiran, lalu ia menoleh kearah saya. "Kangen, dek. Udah lama gak gini. Kayaknya aku harus sakit dulu, biar bisa istirahat terus ketemu kamu sebentar,"

Saya heran, sungguh-sungguh heran, karena disaat wajahnya yang sudah pucat pasih itu Kenar masih mencari cara untuk bisa membuat hati saya berpacu terlalu kencang dan rasanya kaki saya sudah tidak menapak di permukaan.

"Udah lama, kak sakitnya?" Tanya saya.

Kenar menggidikan bahunya. "Gak tau. Baru berasa sekarang. Kayaknya kemaren masih bisa teriak-teriak nonton bola sama Janu,"

"Udah makan siang?"

"Belum. Gak sempet. Tadi nyelesain tugas dulu,"

"Makan dulu ya nanti?"

"Terserah kamu aja. Aku ngikut. Kamu bakal jagain aku 'kan hari ini?"

"Hmmm...iya kak. Aku jagain hari ini,"

Karena selama perjalanan kondisi Kenar semakin memburuk—batuk-batuk dan katanya dia terus merasa mual dan kepalanya terus berputar—akhirnya saya memutuskan untuk membawanya ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut dan ditangani dengan benar.

"Ke dokter dulu ya kak?" Tanya saya yang sedang memegang setir itu menatap Kenar yang sudah terkulai lemas di samping saya.

"Sumpah dek, terserah kamu aja. Mau kamu bawa aku ke dukun juga boleh, ini kepala aku sakit banget," Jawabnya lalu kembali batuk-batuk.

Saya terkekeh pelan, entah itu maksud pernyataannya barusan adalah candaan atau bukan, tapi Kenar benar-benar terlihat lucu disaat genting seperti ini.

Setelah diperiksa oleh dokter ternyata memang faktor kurang istirahat, makan dan lain sebagainya lah yang menjadi penyebab Kenar bisa jatuh sakit hari ini. Dan saat ini saya sedang di ruang tunggu apotek, menunggu nama Kenar dipanggil untuk diberikan obat sesuai resep yang diberikan dokter tadi.

Untuk Kenar Where stories live. Discover now