Yang Sedang Penat

632 96 20
                                    

05 Desember 2017

"Kak, kenapa sih?"

Pertanyaan tersebut akhirnya saya lontarkan setelah sekian lama saya dan Kenar saling diam-diaman-atau sebetulnya Kenar yang tidak membuka mulutnya sedikit pun-di dalam mobil yang sudah berjalan kurang lebih satu jam setengah sejak kami keluar dari area kampus.

Kenar malah sibuk menatap jalanan tol yang lengang di depan, memacu kendaraannya diatas 100km/jam, mentang-mentang di depan tidak ada mobil yang menghalangi.

"Ini mau kemana?" Tanya saya setelah sekian kali diacuhkan olehnya dan kali ini dengan nada yang lebih tinggi sedikit.

Tapi akhirnya Kenar menoleh, menatap saya sekilas sebelum kembali ke jalanan depan. "Laper kamu?"

Mungkin Kenar sudah terlalu hafal dengan kebiasaan saya yang sudah mulai ketus kalau sedang lapar. Lagian, waktu sudah mulai menunjukan pukul delapan dan Kenar belum memberhentikan mobilnya di salah satu tempat yang menjadi tujuannya dari awal, yang saya sama sekali tidak mengetahuinya.

Dari awal dia menjemput saya di gedung fakultas, saya tidak tahu dia mau bawa saya kemana. Bisa-bisa saya dibawa ke Jogja malam ini.

"Masuk, Dek." Cuma itu yang tadi dia katakan saat mobil miliknya berhenti di depan lobi gedung fakultas saya, dengan kaca jendela penumpang yang ia turunkan.

Setelahnya, Kenar benar-benar diam, hanya fokus ke jalanan di depannya. Hanya ada suara angin pendingin ruangan dan lagu Kahitna yang saya putar mengisi kesunyian di dalam mobil.

Tapi, kalau yang saya boleh menebak, setelah membaca dari guratan-guratan wajahnya, sepertinya Kenar sedang ada masalah tapi dia tidak mau cerita. Dipendam sendirian, seperti tipikal Kenar yang seharusnya.

Akhirnya dia membelokkan mobilnya masuk kedalam rest area dan memarkirkan mobilnya di salah satu sudut. Melepas sabuk pengamannya, Kenar keluar mobil tanpa bersuara sedikit pun meninggalkan saya yang masih bingung menatapnya.

Saya melihat Kenar dari dalam mobil, mengeluarkan kotak putih-yang tidak pernah saya lihat sebelumnya-dari sakunya. Tidak tahu, saya bingung dia mau berbuat apa dengan kotak putih tersebut. Mungkin mau ngerokok, satu hal yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Atau mungkin dia cuma mau menaruh batang rokok yang tidak nyala diantara bibirnya seperti tokoh fiksi Augustus Waters dalam buku The Fault in Our Stars.

"Kamu beli makanan gih. Aku disini dulu, bentar. Oiya, nih." Ujar Kenar sambil mengeluarkan selembar seratus ribu dari dalam dompetnya disaat saya sudah keluar dari mobil dan berdiri di hadapannya.

"Cukup 'kan?" Tanyanya, tapi saya masih menatapnya khawatir. Dia sepertinya memang tidak mau cerita apa yang sedang terjadi dengan saya.

Saya menggeleng, menolak. "Gak usah. Aku bawa uang sendiri kok."

"Ambil aja, Dek. Orang aku yang ngajak jalan tiba-tiba gini. Udah sana, disini kan ada Burger King. Suka kan kamu pasti? Beli aja dua buat kamu," Dia masih mengulurkan tangannya di depan saya.

Tapi bukannya menjawab saya malah bertanya hal lain. "Kak, kamu mau ngerokok?" Saya melihat tangan kirinya yang masih menggengam bungkus kotak putih.

Kenar langsung gelagapan. Matanya yang tadinya hanya fokus kepada saya, langsung berputar tidak tahu arah. "Engg-"

"Kenapa sih, Kak? Ada sesuatu?" Saya menatapnya khawatir. Kenar menghembuskan napasnya panjang sebelum ia mengambil tangan saya menaruh selembar seratus ribunya diatas telapak tangan saya.

"Kamu beli makan dulu ya. Pikirin perut kamu dulu, akunya nanti aja,"

Tahu 'kan definisi lemah? Ya, ini melihat Kenar dengan tatapan memohon yang terlalu sulit jika tidak saya turuti.

Untuk Kenar Where stories live. Discover now