Yang Pernah Saya Tinggal

727 98 35
                                    

[ada cast baru yg ditambahin bisa diliat di media atas ini yah]

Ternyata hubungan yang saya kira akan berjalan semulus jalan tol ini, ternyata menemukan lubangnya juga. Banyak sifat dari saya ataupun Kenar yang sama-sama belum kami ketahui.

Hubungan kami saat itu baru menginjak umur lima bulan, dimana kami sedang diuji-ujinya oleh Tuhan, apakah rasa sayang yang pernah saling kami nyatakan itu benar adanya. Apakah kami berdua yang sama-sama memutuskan untuk berkomitmen lebih jauh itu benar-benar bisa mempertahankannya sampai ke jenjang yang lebih serius. Saya tahu, bahwa kami sama-sama masih muda. Masih terlalu dini untuk membicarakan apa akhir dari hubungan ini atau mau dibawa kemana hubungan ini. Tapi tidak ada salahnya kan? Jika kami ingin memulai serius dari sekarang. Kami ingin belajar bagaimana loyal kepada pasangan masing-masing, sehingga nanti misalnya kami memang benar-benar ditakdirkan untuk berakhir bersama, kerikil-kerikil baru yang berdatangan itu sudah biasa kami hadapi.

Tapi saya tahu, omongan saya barusan hanya harapan saya belaka. Menjalankannya saja terlalu sulit. Semua janji-janji yang kami buat diingkari dan dilupakan begitu saja. Semua rutinitas yang kami lakukan saat awal-awal kami baru resmi menjadi lebih dari sebuah teman, ditinggalkan begitu saja.

Semua alasannya hanya karena. Hanya karena kami jenuh. Hanya karena kami sibuk dengan kegiatan kampus. Hanya karena kami memendam apa yang sedang kami rasakan. Hanya karena kami takut saling menyakiti. Hanya karena kami tidak tahu bagaimana kami cara melewati ini semua. Hanya karena tidak ada alasan yang pasti mengapa kami merasa seperti ini.

Akhirnya, kami memutuskan untuk berpisah sejenak. Sore itu, di parkiran fakultas ekonomi tepatnya dalam mobil Kenar, saya menyampaikan keinginan saya untuk pertama kalinya.

"Kak." Saya memanggilnya. Dirinya yang masih sibuk dengan ponsel dihadapannya itu, menoleh kearah saya.

"Ya?"

"Aku mau break." Ucap saya begitu saja. Raut wajahnya yang sedaritadi datar berubah menjadi bingung sejak saya mengeluarkan tiga kata tersebut. Lalu hening sejenak sebelum akhirnya Kenar berbicara.

"Break?"

"Iya. Sama kita."

"Kenapa?" Tanyanya pelan.

Saya menghembuskan napas panjang saya, menandakan betapa lelah saya dengan seluruh aktivitas hari itu dan betapa lelahnya saya dengan hubungan yang entah mengapa tidak ada perasaan senang, gelisah, sedih, rindu bahkan perasaan kupu-kupu terbang didalam tubuh saya tidak ada. Tidak ada perasaan tersebut, yang pernah terjadi saat Kenar menyatakan perasaan kepada saya. Semuanya terlalu hambar. Layaknya makanan yang tidak ada rasa asin, manis bahkan pahit.

"Aku ada salah?" Tanyanya yang tiba-tiba terdengar khawatir, untuk pertama kalinya, setelah selama dua bulan kebelakang saya merasakan ini. Kenapa harus sekarang dia menunjukannya?

Saya menggeleng pelan. "Enggak. Enggak ada. Ini tuh—I don't know how to explain this. But, I need a time. Alone. To think. About us."

"Emangnya ada yang salah dari kita?" Tanyanya lagi, masih menatap kekedua bola mata saya yang membuat saya menjadi ragu untuk mengambil keputusan.

"Ada. Dan aku mau cari tau itu apa." Jawab saya.

"Oke." Balasnya singkat. Dan entah kenapa perasaan kecewa diam-diam menyerang saya. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama seperti saya.

"Oke." Ujar saya sambil mengangguk pelan. Berakhir begitu saja percakapan kami.

"Take care, Dek." Ujarnya sebelum saya turun dari mobil dengan berat hati, memutuskan untuk pulang sendiri.

Untuk Kenar Where stories live. Discover now