Yang Menghampiri

377 49 9
                                    

"Kinan, lima menit lagi giliran lo ya. Siap-siap."

Begitu kata Nadin, gadis berambut merah dari jurusan sastra prancis yang kini menjadi penanggung jawab acara pensi tahunan yang diadakan di fakultas ilmu budaya.

Saya menatap pantulan diri saya di cermin, menelusuri penampilan saya dari atas sampai bawah. Cardigan hitam, kaos putih polos, celana jins robek, dan boots coneverse hitam. Nggak buruk-buruk banget. Rambut sebahu yang baru saya keramasi tadi pagi, masih terlihat baik-baik saja sampai siang ini.

Duh, tapi mendengar Nadin berkata bahwa saya akan tampil dalam lima menit lagi membuat tangan saya mulai bekeringat lagi. Ditambah detak jantung yang sudah mulai nggak karuan. Di dalam kepala saya masih terus bertanya-tanya, kenapa seminggu yang lalu saya mengiyakan permintaan Nadin untuk tampil di pensi hari ini? Kenapa saya cuma membutuhkan waktu sehari untuk mengiyakan permintaannya?

Aaah, memang Kinan terlalu impulsif! Seminggu yang lalu, saya nggak akan berpikir bahwa saya akan sangat nervous dan terkena demam panggung yang cukup parah karena ini pertama kalinya dalam seumur hidup, saya akan menyanyi di depan banyak orang. Tapi ini juga salah Kenar, dia juga yang membujuk terus-menerus agar saya menerima tawarannya.

"Suara kamu tuh bagus, Dek. Sayang banget kalau cuma nyanyi di kamar mandi sama rumah. Banyak kali yang mau denger, nggak cuma orang rumah sama aku aja yang sesekali denger," begitu katanya. Padahal dia baru melihat saya sekali nyanyi secara sungguh-sungguh, itu pun juga saat kami lagi karaokean di rumah. Paling bilang begitu hanya ingin membuat saya senang aja.

"Nggak deh. Malu tau diliatin banyak orang." ujar saya mengelak waktu itu. Posisinya saat itu kami sedang berada di ruang tengah rumah saya, bermalas-malasan diatas karpet sambil memakan kacang.

"Yaaa, coba aja sekali. Siapa tau nagih? Nggak ada yang tau kan? Waktu itu kamu pernah cerita ke aku kan, waktu kuliah sekarang masih banyak yang nggak kenal sama kamu nggak kayak waktu SMA? Mungkin ini kesempatannya untuk nunjukin eksistensi kamu. A little try won't hurt,"

"Aku takut diliatin tau. Tau sendiri kalau udah banyak orang yang liat, aku bakal insecure kayak apa," saya memutar badan, untuk menghadap Kenar yang masih menatap langit-langit rumah.

"Kan ada aku. Liat aku aja." balasnya dengan rahangnya yang super enteng itu, lalu menoleh kearah saya membuat mata kami saling bertemu.

Saya memutar bola mata, nggak mau mengakui kalau melihat dia beneran bisa membuat saya lebih tenang.

"Emangnya kamu bakal dateng?" tanya saya pesimis karena mengingat jadwal Kenar yang super sibuk untuk semester ini itu rasanya mencari waktu luang untuk acara yang akan di selenggarakan dari siang itu rasanya mustahil.

"Dateng dong! Hari Jumat 'kan? Ya kali aku nggak dateng." Kenar membetulkan posisinya, kini kami saling berhadapan dengan jarak lima jengkal membentang diantara kami.

"Tapi kan Jumat aja kamu ada kelas siang."

"Jatah absen kelas moneter masih ada dua, santai." dia tersenyum dari pipi ke pipi. "Jadi, tampil ya? Pelan-pelan, tunjukin sama dunia kalau kamu itu Kinan yang super keren."

"Hmmm...liat besok deh. Malem ini aku pikirin dulu,"

Dan benar saja. Setelah saya pikir-pikir, mau seberapa pun saya menolak untuk nggak mengambil tawaran untuk tampil, dalam hati kecil saya selalu ingin untuk menerima tawaran tersebut. Rasanya ingin, memperlihatkan sedikit pada dunia apa yang saya punya.

Kalau saya menolak tawaran tersebut, saya tahu hati kecil saya pasti akan kecewa dengan diri saya sendiri. Jadi, saya memutuskan untuk mencoba. Siapa tahu nagih, kata Kenar.

Untuk Kenar Where stories live. Discover now