20. Perasaan.

83 7 0
                                    

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan pun berganti bulan. Sudah beberapa bulan semenjak kepergian Angga yang meninggalkannya tanpa kabar apapun, akhirnya kini Hanny mampu menjalani hidupnya dengan normal.

Bolehkah sekarang ia menganggap jika Genta adalah pahlawannya setelah Angga? Ya karena semenyebalkan apa pun si tiang listrik itu, dia selalu ada di saat masa-masa sulit Hanny, di saat Hanny menangis karena kepergian Angga yang tiba-tiba maka Genta lah orang pertama yang rela meminjamkan bahunya untuk Hanny bersandar.

"Pasti lagi mikirin gue,"

Kegiatan Hanny yang sedang menyisir rambut panjangnya di depan cerminpun seketika terhenti ketika sebuah suara yang sudah tidak asing lagi baginya menginterupsi.

Gadis itu melirik sebal Genta yang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan kedua tangan di masukan ke dalam saku celana abu-abunya.

"Ketuk pintu dulu kek dasar gak sopan," omel Hanny, seperti biasa sikap menyebalkan Genta tidak pernah hilang.

"Ini kan rumah gue, bebas dong. Lagian juga siapa suruh pintu nya gak lo tutup," dengan santai Genta menyahut.

Hanny memutar bola matanya malas.
"Selalu aja gitu jawaban lo,"

Genta melangkah memasuki kamar Hanny, laki-laki itu berdiri tepat di belakang Hanny. Dari cermin rias di depannya, Hanny bisa melihat sosok laki-laki menyebalkan yang selalu menjadi penghiburnya berdiri tepat di belakangnya. Dan sial, jantungnya berdegup semakin tidak beraturan ketika Genta berada di sekitarnya.

Selalu seperti itu.

"Gue suka rambut lo," Hanny semakin bungkam dengan perasaan gugup yang mulai menyerangnya, apalagi ketika ia merasakan dan melihat jemari Genta yang bergerak menyisir rambutnya dengan lembut dan begitu hati-hati,  seolah-olah takut rambut Hanny akan kembali berantakan jika ia tidak hati-hati menyisirnya.

Dan sejak kapan perlakuan si tiang listrik ini begitu manis dan romantis?  Entahlah, dan anehnya juga entah sejak kapan Hanny mulai menyukai perilaku manis itu. Seperti saat ini contohnya.

"Genta," Hanny merasa jika suaranya kentara jika dirinya memang sedang gugup.

Hingga seketika suara tawa Genta memecah keheningan dan merusak suasana.

"Bhahahahaha njir Han muka lo," tawa Genta.

Dan rasanya Hanny ingin sekali mencakar dan mencabik-cabik wajah laki-laki yang saat ini sedang menertawakannya dengan begitu puas. Ya, Genta memang selalu menyebalkan, 100 persen menyebalkan. Laki-laki itu sering kali membuat Hanny terbawa perasaan oleh sikap misteriusnya,  namun laki-laki itu juga lah penghancur suasana yang mulai sedikit romantis itu.

Memang nya ini lucu?  Sama sekali tidak, ini bukan hal yang musti di tertawa kan, Genta memang menyebalkan, Genta memang selalu mempermainkannya.

Dengan mata yang mulai berkaca-kaca Hanny dengan cepat mengambil tas sekolahnya,  kemudian berlari kecil keluar dari kamar tidak mempedulikan seruan Genta yang menyuruhnya untuk berhenti.

"BARBIE WOY TUNGGU!  KITA BERANGKAT SEKOLAH BARENG," teriakan Genta sama sekali tidak di gubris Hanny, gadis itu terlalu kesal.

Genta menggaruk tengkuknya dengan bingung. "Salah lagi dah gue."

"GENTAAAAA,"

Genta berdecak dengan sebal saat suara toa kakaknya menginterupsi, dengan malas laki-laki itu melangkah keluar dari kamar Hanny, ia melihat Ginny tengah berdiri di ujung anak tangga dengan pakaian kaos rumahannya.

Ya, kerjaan kakaknya itu memang selalu marah-marah jika sedang di rumah, Ginny sudah bebas dari sekolah karena ia hanya menunggu saat-saat penguman kelulusan di buka.

Feeling✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang