Pesanggrahan

2.5K 202 19
                                    

Matahari sudah mulai menyingsing, gunung Lawu yang berada di timur tidak menghalangi kuatnya sinar matahari pagi itu. Embun masih menggantung di pucuk-pucuk rerumputan yang dilalui Suryo dan Purwo, bersiap mulai menghilang bersama datangnya mentari.

Entah sudah berapa lama kedua pangeran itu bertarung, tapi sepertinya perjalanan yang mereka tempuh juga tidak dekat. Purwo dan Suryo sampai ke daerah kekuasaan Mangkunegaran, desa Matesih. Setelah keluar dari pusat desa yang pasarnya telah ramai di jam segini, kuda mereka membawa keduanya menaiki sebuah bukit, kesejukan kanan-kiri jalan yang berupa pohon-pohon rimbun membuat mata mereka mulai diterpa kantuk. Jalan menuju bukit itu sudah menanjak dari awal, hingga pada empat per-tiga tanjakan Purwo menghentikan kudanya. Terlihat sebuah joglo yang dibangun cukup mewah untuk ukuran pedesaan. Bukan joglo lebih tepatnya hanya pendopo yang kanan kirinya tidak ada dinding pembatas.

"Disini pangeran Suryo dapat beristirahat dan membersihkan diri. Pangeran Sambernyowo ada di bukit sebelah atas. Jika beliau sudah berkenan, beliau akan datang kesini atau pangeran Suryo yang datang menghampiri beliau, nanti kami akan beri tanda" Purwo menjelaskan.

Suryo turun dari kuda dan menambatkan kudanya di pohon pinus yang tinggi menjulang. Tempat yang ia datangi lebih tepatnya sebagai hutan pinus. Melihat kekiri dan kekakan ada lembah, jurang dan hutan yang cantik membuatnya tertegun. Tempat yang asri dan penuh dengan kedamaian. Tempat seperti ini biasanya dihuni oleh para petapa yang mumpuni. Auranya akan menyebar kesekelilingnya. Suryo dapat merasakan aura tersebut.

"Pangeran, saya undur diri dulu. Nanti ada paman dan bibi emban yang akan membawakan makan serta perlengkapan sehari-hari" pangeran Purwo menjelaskan.

"Terimakasih, boleh aku memanggilmu Purwo? sepertinya usia kita tidak jauh berbeda. Yang berbeda mungkin kamu anak pertama dari paman sedangkan aku anak paling ujung dari ayahku"

"Silahkan pangeran, boleh saya juga memanggil Suryo saja?"

"Ya..., sepertinya itu lebih nyaman. Terimakasih atas jamuannya"

Keduanya mendadak menjadi akrab, meskipun di bathin mereka terbersit bahwa garis keturunan mereka berbeda.

Setelah Purwo pergi, Suryo melihat ke samping kiri. Pohon pinus yang tinggi menjulang mengelilingi pesanggrahan ini. Di dekat pohon pinus sebelah kiri terdapat jurang yang cukup dalam. Jika memandang cukup jauh terlihat perbukitan kecil yang membuat pemandangan lebih asri. Setelah perjanjian Giyanti seluruh tanah ini adalah tanah Kasunanan, kemudian semenjak perjanjian Salatiga tanah disebelah timur kota Solo ini menjadi hak Mangkunegaran. Suryo sudah tidak begitu mengikuti perkembangan daerah ini.

=======intermezzo=========

Setting pesanggrahan kali ini adalah makam Pangeran Sambernyowo yang terletak di desa Matesih. Makam yang saat ini letaknya di atas makam Pak Harto. Ada pintu yang menghubungkan kedua makam ini. Makam ini disebut dengan Mengadeg. Bagi mereka yang masih keturunan Mangkunegaran pasti pernah datang kesini dan berziarah. Tempatnya asri dan nyaman untuk merenung atau sekedar melepaskan penat dari hiruk pikuk kota.

Lucu ya maen kog ke makam. Tapi yang ini beda, serius, boleh menginap gratis hahaaha, tentu tidur di karpet bebarengan pengunjung lain. Kebetulan penulis lahir di desa ini 2 km dari makam ini ^____^

 Kebetulan penulis lahir di desa ini 2 km dari makam ini ^____^

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Tarian Sukmo Sejati [ End ]Where stories live. Discover now