Pangeran Sambernyowo

2.4K 189 18
                                    

Merasakan sambutan yang diberikan P. Sambernyowo membuat tubuh Suryo lebih rilex. Berdialog secara pribadi dengan beliau adalah keinginan terpendam Suryo. Meskipun ada perseteruan dan permusuhan antar keluarga mereka, tetap saja rasa kagumnya tidak dapat dipungkiri.

"Pangeran, sungguh sebuah kehormatan saya bisa berhadapan langsung dengan seseorang yang gagah berani melawan kompeni, kiranya Pangeran sudi memberikan ilmu pada pemuda seperti saya ini" Suryo mengungkapkan kegembiraannya.

"Tentu ayahmu telah banyak mengajarimu berbagai ilmu, ilmu apalagi yang ingin engkau miliki mas Suryo?" kalimat itu terucap dari Pangeran Sambernyowo bersamaan dengan gerak tubuhnya yang bersiap untuk duduk bersila. Suryo mengikuti gerakan pamannya, mengambil posisi yang sama.

Kini mereka berdua duduk berhadapan di altar sembahyang mirip posisi Laras dan Andini di Pringgondani. Posisi ini merupakan posisi yang paling tepat untuk berdiskusi dan berdialog.

Suryo merasa canggung karena P. Sambernyowo yang seorang Raja bersedia duduk satu lantai dengannya. Seharusnya beliau duduk di kursi yang lebih tinggi.

"Pangeran, apa Pangeran tidak keberatan jika saya duduk dalam satu lantai yang sama tinggi dengan Pangeran?. Saya mohon maaf sebelumnya jika lancang" agar dirinya merasa lebih tenang, Suryo bertanya apakah posisi duduk berhadapan dan sejajar ini tidak masalah bagi beliau.

"Disini adalah altar sembahyang. Kamu bisa sembahyang dan bersemedi disini. Aku tidak sedang menjadi Raja saat sedang duduk disini. Aku menjadi saudara yang sangat senang menerimamu sebagai tamu dari keluarga sendiri" altar sembahyang yang mereka duduki sungguh sangat nyaman, suasana sekitarnya membuat seseorang mudah fokus dengan energi alam yang masih murni, tidak banyak bercampur dengan energi-energi manusia yang saling bertubrukan seperti di tempat-tempat keramaian.

"Terimakasih banyak Pangeran, sekiranya sambutan Pangeran ini memperlihatkan seperti apa Pangeran sesungguhnya"

Mendengar Suryo berkata seperti itu Pangeran Sambernyowo tersenyum. Bayangan desas-desus di luar keraton tentang dirinya yang membuatnya menjadi seorang yang terlihat kejam dan tegas terlintas di benaknya, terlebih sebutan namanya yang disematkan oleh kompeni sebagai penanda kemampuannya dalam menaklukan lawannya.

"Jadi apa rencana yang hendak kau tawarkan padaku, pangeran Suryo? Jauh-jauh engkau datang kesini, tentu bukan perkara sepele. Katakan, rencana dan keinginanmu"

Suryo menarik nafas, matahari yang baru mulai tergelincir ke arah barat sudah tidak nampak dari altar ini karena rimbunnya pohon pinus yang menaungi mereka. Cahaya matahari kadang menembus saat hembusan angin menggoyangkan rimbunnya pohon-pohon itu.

"Pangeran, entah kenapa Suryo berada disini. Suryo hanya mengikuti kata hati, perintah bathin yang datang begitu saja. Kemudian Suryo mulai memikirkan dan mengamati semua kejadian-kejadian yang terjadi di sekeliling Suryo." Suryo memulai cerita dan memperhatikan P. Sambernyowo yang dengan sabar mendengarkan, kemudian Suryo melanjutkan.

"Yang muncul di benak saya adalah sebisa mungkin keluar dari kraton, bagi pangeran yang mempunyai pemikiran seperti saya tidak mungkin akan selamat dari incaran kompeni. Mereka akan dengan mudah merekayasa pembunuhan dengan cara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana yang terjadi pada saudara-saudara saya. Jika bukan kabar kematian maka kabar mereka dibuang ke pengasingan yang datang" Suryo menceritakan kepedihan yang dia rasakan ketika tinggal di Keraton.

Selama ini dia diperintahkan oleh Romonya agar tidak terlalu mengundang perhatian pejabat keraton saat menyatakan pendapat, demi keselamatannya. Lebih tepatnya Suryo disuruh bersembunyi di dalam terang.

Mendapati kenyataan yang berbanding terbalik dengan idealismenya sebagai seorang pangeran ini membuat Suryo berpikir mencari jalan keluar dari kondisi ini.

"Ide untuk bergabung dengan Mangkunegaran datang saat Jumenengan tahun ini. Ketika mengetahui dan mendengar ada prajurit rahasia Kasunanan di Klaten, saya meminta Romo mengijinkan saya membawa pasukan rahasia ini dan bergabung dengan Mangkunegaran. Ketimbang saya tidak bisa berbuat banyak jika terus di Keraton. Begitulah kira-kira bagaimana asal muasal semua rencana saya Pangeran" Suryo menjelaskan hal yang melatar-belakangi langkah yang diambilnya. Dia sama sekali tidak menyebut keterkaitan rencananya dengan keberadaan Laras. Suryo berfikir P. Sambernyowo tidak perlu mengetahuinya meski sebenarnya beliau telah mengetahuinya.

Pangeran Sambernyowo yang Suryo temui saat ini sudah berbeda dengan pangeran yang dulu. Selama enam belas tahun berada di luar Keraton dan memimpin pemberontakan telah membuat keras hatinya, hingga di umur ke tiga puluh dua beliau menduduki tahta, menjadi Raja praja Mangkunegaran.

Menjadi Raja dan memimpin masyarakat dan juga dengan bertambahnya usia, telah melembutkan hati beliau. Pandangannya terhadap kehidupan lebih matang ketimbang dahulu sebagai seorang anak muda yang membawa dendam membara dalam dirinya. Yang diketahui hanya bertarung demi harga diri dan kemarahannya.

Pengorbanan ayahnya yang rela dibuang oleh kompeni demi menyelamatkan hidupnya dan hidup ibunya selalu menjadi alasan dan kekuatan setiap kali dia bertempur. P. Sambernyowo kecil belum pernah melihat ayahnya, ayahnya dibuang saat ia masih berada di dalam kandungan. Kakeknyalah, ayah dari ibunya, yang merawat dan menjadikannya panglima perang yang tangguh.

Namun kemudian, ketika ia beranjak dewasa, pemikirannya dan pemikiran kakeknya berlawanan, hingga akhirnya mereka menjadi seteru. Kakeknya mau menandatangani perjanjian Giyanti dan tunduk pada VOC kemudian menjadi Raja di Jogjakarta bergelar Hamengkubuwono I sedangkan P. Sambernyowo masih tetap bergerilnya melanjutkan perlawanannya.

Dari semua kejadian-kejadian ini Pangeran Sambernyowo kemudian mencoba menelisik kedalam, mencoba memetik hikmah. Tidak ada yang abadi di dunia ini, baik itu kemarahan, kesetiaan, kekuatan, kebencian atau apapun. Dengan banyak bersemedi P. Sambernyowo mendapat banyak pencerahan termasuk bertemu dengan seorang kakek yang selalu menyertainya kemanapun ia pergi.

"Aku sangat mengerti semangat yang kau miliki mas Suryo. Setiap pangeran yang terlahir pasti menginginkan menjadi Raja, tidakkah mas Suryo juga ingin menggantikan Romomu nanti?"

"Saya termasuknya pangeran yang terlahir di urutan belakang Pangeran. Terlalu jauh jika memikirkan ingin menjadi Raja menggantikan Romo. Masih banyak saudara-saudara tua yang lebih berhak. Saya ingin berjuang dengan cara saya sendiri Pangeran. Saya mengidolakan Pangeran yang dulu hingga kini memiliki jalan sendiri dalam berjuang"

P. Sambernyowo tersenyum, teringat ambisinya dahulu. Anak muda selalu berapi-api dan yang tua adalah model yang mereka contoh. Mengingat hal tersebut pangeran berpikir tentang apa saja yang akan ia tinggalkan kelak untuk anak turunnya, pemuda-pemuda seperti di hadapannya ini sekarang. Keputusannya keluar dari pemberontakan dan bersedia menandatangani perjanjian Salatiga dengan VOC, Hamengkubuwono I dan Pakubuwono III membuatnya sedikit berfikir tentang apa yang anak turunnya pikirkan nanti.

=======================================
Entah kenapa imajinasi fiksinya malah banyak ke Pangeran Sambernyowo ya...
Semua yang tertulis diatas hanya fiksi ya saudara-saudaraku para pembaca yang budiman.
Saya hanya ingin mengungkapkan tingkat2 spiritualitas seseorang sesuai umurnya.
Jika ada yang tidak berkenan, bagian ini akan saya ganti dengan tokoh lain _/\_

Tarian Sukmo Sejati [ End ]Where stories live. Discover now