37

838 26 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku sedang bersiap-siap membereskan peralatan tulis ketika Iran menyikutku perlahan. Aku menoleh. Iran menggodaku dengan tatapan nggak banget, sambil mengisyaratkan agar aku menoleh ke arah pintu kelas. Aku menurut. Kudapati Kak Ian berdiri di luar pintu sambil diam-diam melempar senyum. Aku jadi salting sendiri.

“Prikitiuuu…” bisik Iran sambil terus melanjutkan beberes tasnya. Aku menginjak kakinya.

“Ih, kok nginjak kaki gue sih?” keluh Iran.

“Biarin! Tau rasa!” bisikku sambil menyengir puas.

“Cieee, siapa tuh yang nungguin di luar?” colek Lita pada bahuku.

Ih, penggoda dari bangku belakang ikut-ikutan. Untung saja Bu Friska sudah beranjak menuju keluar kelas, jadi suasana kelas mulai heboh.

“Kalian jangan ngompor-ngomporin dong!” seruku sambil menoleh pada Iran, Lita, dan Icha.

“Hahaha….. ada yang nungguin nih!” seru Lita.

Tau-tau Dedi lewat, rupanya dia ngeh dengan kehebohan kami dan keberadaan Kak Ian.

“Woy Va, buruan lo keluar tuh!” Dedi terbahak sambil melambai ke arah Kak Ian yang dibalas dengan senyum lebar.

Ih… sumpah deh, masa Dedi ikut-ikutan juga? Gak banget deh!

Aku memutuskan berdiri dan segera menghampiri Kak Ian. Kehadirannya membuatku jadi korban bully. Sementara teman-teman mulai berhamburan keluar kelas.

“Kak Ian ada apa?” tanyaku heran.

“Va, kamu pre test juga kan hari ini?” tanya Kak Ian.

Aku mengangguk. “Iya, katanya semua peserta olimpiade pre test sore ini. Iran juga.”

Kak Ian manggut-manggut. Ia dengan sigap membalas tinjuan tangan Dedi yang menjulur perlahan padanya. Tos-tosan anak muda gitu deh.

“Duluan yo Bro!” kata Dedi pamit.

Ia sempat menggodaku lewat tatapan. Tumben nggak sinis kayak biasanya.

“Oke,” balas Kak Ian mengangguk. Kemudian ia kembali fokus menatapku.

“Tadi aku sms tapi gak dibalas-balas, Va,” kata Kak Ian lagi.

“Oh, sori Kak, hpku ketinggalan di rumah.”

“Hmm, pantesan. Tadinya aku mau ngajak kamu sama Iran makan bareng dulu, sebelum balik lagi ke sekolah buat pre test.”

“Halooo Kak Ian!” seru Iran bersama Lita dan Icha yang juga sudah keluar dari kelas.

“Cieee, mau ke mana berdua?”

Plis deh, muka gue udah merah belum ya?

“Kalian udah mau pulang?” tanya Kak Ian.

“Iya Kak,” jawab Lita dan Icha barengan, “Duluan yaaa semuanya.” Mereka pamit sambil dadah-dadah dan tertawa padaku.

“Kalo Iran?” tanya Kak Ian lagi.

“Ngg.. ada deh Kak!” Iran menjawab misterius sambil memandangku tersenyum lebar.

“Mau ke mana lo, Ran?” tanyaku penasaran.

Sementara Iran memberiku bahasa isyarat. Kalau nggak salah kuartikan ya, dia mau ke kelas Kak Imran dulu. Dasar Iran. Ditambah lagi dengan tatapannya yang seolah bilang, “Udaaah, jalan aja sama Kak Ian!

Argh!

“Gaya banget deh!” cibirku.

Kak Ian hanya tersenyum. “Imran masih di kelas tuh sama Tama,” kata Kak Ian.

Membuat Iran melongo. Haha, kena deh lo, Ran. Ketahuan Kak Ian.

“Kok tau sih Kak?” tanya Iran heran.

Kak Ian hanya mengangkat bahu. Ia melempar senyum padaku. Aku ikut tersenyum. Iran jadi keliatan tersipu, tapi ia dengan cepat menguasai ekspresinya dan pamit pada kami.

“Titip Riva ya Kak, dia gak bawa hp sih jadi gak bisa ngabarin kalo ada apa-apa. Oke?” Iran mengacungkan jempol, yang dibalas juga dengan acungan jempol Kak Ian.

“Va, gue cabut. Kita ketemu jam setengah 4 ya di sini!”

“Oke. Hati-hati!” pesanku.

“Hahahaha…. Sip!”

Iran pergi meninggalkanku berdua dengan Kak Ian. Kak Ian kembali mengajakku makan siang. Mau tidak mau aku mengiyakan ajakannya. Sekalian mampir di rumah untuk mengambil hp.

“Kita makan dulu atau ke rumah kamu dulu, Va?” tanya Kak Ian.

“Mm.. boleh gak Kak kalo kita ngambil hp dulu? Biar nanti abis makan kita langsung ke sekolah aja, gak mampir di rumah lagi,” usulku, dibalas dengan anggukan Kak Ian.

“Boleh.”

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang