73

356 15 0
                                    

Minggu pagi, sesuai rencana, aku dan Kak Ian berangkat bersama menuju rumah Tante Meva. Meski suasana cukup mendung, tapi untungnya hujan belum juga turun. Tante Meva menyambutku dengan senang.

“Pagi, Cantik!” sapa Tante Meva memelukku.

Aku balas memeluk Tante Meva. “Pagi Tante.”

“Gimana kabarnya? Sehat? Keluarga di rumah gimana?”

“Alhamdulillah sehat, Tan. Mama sama Papa di rumah juga sehat,” jawabku mengangguk.

“Syukur deh kalo gitu. Eh iya, Riva kan mau belajar merajut, nah gimana kalo kita belanja bahan-bahannya dulu? Tante juga pengen beli benang, soalnya persediaan udah mau habis,” usul Tante Meva.

Aku mengangguk setuju. “Tapi gak papa tuh Tan? Di luar kayaknya mau hujan. Mendung banget.”

“Gak papa Va, kita kan naik mobil,” kata Kak Ian. “Ma, langsung berangkat aja?”

Tante Meva mengangguk. “Yuk. Ayo Cantik...”

Tante Meva menggamit lenganku, dan mengajak kami segera naik ke mobil. Aku berusaha untuk tidak salting. Kak Ian membawa mobil menuju toko langganan mamanya. Begitu sampai di sana, Tante Meva mengajakku memilih warna benang apa saja yang ingin kupakai, juga jarum rajut. Tante Meva sendiri membeli beberapa warna benang rajut untuk persiapan di rumah.

“Tan, jarumnya gak beli dua aja? Untuk jaga-jaga kalo misalnya hilang,” usulku.

“Kalo simpan di rumah Tante sih aman, Va, gak bakal hilang. Tapi kalo kamu mau beli dua gak papa. Jadi yang satu simpan di rumah Tante, satunya simpan di rumah kamu. Mana tau besok-besok kamu mau nyoba merajut di rumah sendiri, kan?”

“Oh iya, bener juga, Tan,” aku mengangguk.

Kuputuskan membeli dua buah jarum. Baru saja ingin kubayar belanjaanku, tetapi Tante Meva menggabungkan belanjaanku di dalam belanjaan beliau. Aku ditraktir. Ya ampun.

“Tan, kok malah dibayarin? Padahal Riva bawa uang...”

“Gak papa, uangnya ditabung aja, Va. Ini biar sekalian, jadi mbak kasirnya juga gak repot hitung,” Tante Meva tersenyum mengelus lenganku.

Aku hanya tersenyum pelan. Begitu selesai, kami kembali ke rumah Tante Meva.

“Riva, kamu duduk dulu ya sama Ian. Tante ke dapur dulu, mau ngambil sesuatu.”

“Aku bantu ya, Tante,” tawarku seraya berdiri menyusul Tante Meva.

“Aku ikut juga deh,” kata Kak Ian akhirnya.

Ia merasa diabaikan karena aku dan Tante Meva sibuk berdua sejak tadi. Tante Meva hanya tersenyum melihatku dan Kak Ian seperti dua saudara yang berusaha ikut-ikutan aktivitas orang tua.

“Va, kamu mau minum apa? Ini Tante ada teh, susu, sama madu.”

“Mm, aku teh aja, Tan.”

“Ian susu, Ma.”

“Okey. Riva, boleh tolong keluarin brownies yang ada di kulkas? Sekalian tolong diiris ya. Ian, bantu ambil piring, gih.”

“Siap, Ma.”

Kak Ian mengambil piring di lemari, sedangkan aku membuka pintu kulkas dan mengambil brownies yang dimaksud Tante Meva. Untung sudah ada pisaunya di dalam, jadi aku tinggal mengiris potongannya dan menaruhnya di piring. Kak Ian duduk di sampingku dan mengamati caraku mengiris brownies.

“Nih, susu ama tehnya. Riva kalo mau tambah jahe ada kok,” Tante Meva menyodorkan dua gelas berisi teh dan susu masing-masing kepadaku dan Kak Ian.

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang