45

801 32 0
                                    

Aku membuka mata setelah tidur entah berapa lama. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 10 malam. Aku berjalan menuju ruang makan karena perutku ternyata minta diisi. Pantas saja lapar begini, aku kan terakhir makan sebelum bimbel dimulai. Untung perutku sudah tidak sakit, hanya kelaparan.

“Udah bangun, Sayang? Gimana perutnya?” tanya Papa.

Rupanya Papa juga belum tidur. Aku mengangguk sejenak sambil mengamati papa yang duduk di dekatku.

“Alhamdulillah udah mendingan Pa, tadi emang sakiiiiit banget!” keluhku.

“Syukurlah, tadinya papa khawatir ada apa. Untung Aris maksa kamu pulang tadi.”

Aku hanya menyengir pelan, antara mau tersenyum dan tidak. Mengingat tadi papa cepat akrab dengan Kak Aris karena latar mereka yang sama-sama preman tapi baik hati, aku tidak tau mau berkomentar apa.

“Aris yang bimbing kalian persiapan olimpiade kan?” tanya papa.

“Iya, Pa.”

“Keren....”

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Itulah contoh preman yang cerdas. Keren kan?” sahut papa.

“Keren karena jago olimpiade?” tanyaku memastikan.

“Karena masih mengedepankan akademik. Jadinya premannya tidak monoton. Preman yang basi itu adalah preman yang bisanya cuman tawuran, berantem, narkoba, pergaulan bebas, ya gitu-gitu aja. Gak keren!”

Aku tertawa bingung. Emangnya preman itu ada bermacam-macam ya? Ada-ada aja nih papa. Mentang-mentang sesama preman.

“Tadi Ian datang juga, tapi kamu masih tidur.”

“Oh ya?” tanyaku tertarik.

Papa mengangguk. “Dia khawatir soalnya dia nelfon kamu berkali-kali tapi gak diangkat. Hp kamu mati mungkin ya?”

Aku mengingat-ingat. Sepertinya memang begitu.

“Trus apa kata Kak Ian? Dia marah gak Pa?”

“Marah karena?”

“Kami kan janjian pulang bimbel bareng, Pa, tapi ya itulah, karena perut Riva sakit makanya pulang duluan,” jelasku.

Papa manggut-manggut. “Itu sebabnya dia mastiin ke rumah. Tadi dia ke kelasmu tapi semua udah pada pulang.”

“Nanti aku telfon Kak Ian abis makan Pa,” sahutku.

Papa mengangguk lagi. Sehabis makan, aku bergegas menuju kamar dan menelefon Kak Ian. Semoga dia belum tidur.

Tut.... tut......

“Halo Va, slamat malam..” Kak Ian mengangkat telefonku.

“Malam, Kak. Maaf ya Kak, aku baru bangun, tadi aku sakit pas bimbel makanya pulang duluan,” jelasku to the point.

Semoga Kak Ian nggak marah. Ia hanya tertawa mendengar penjelasanku.

“Pelan-pelan napa, Va. Coba jelasin pelan-pelan, tadi kurang jelas kamu ngomong apa,” katanya.

Aku mengatur nafas dan kembali mengulangi ucapanku dengan perlahan. Dari respon Kak Ian, sepertinya ia sedang manggut-manggut.

“Gak papa Va, kita kan gak tau kalo kamu bakal sakit. Kita gak akan tau kan apa yang akan terjadi, bahkan 1 menit ke depan. Aku tadi malah khawatir kamu udah gak ada pas aku udah selesai bimbel. Takutnya kenapa-napa,” kata Kak Ian.

Aku menghela nafas sejenak. Syukur deh kalau dia tidak marah. Aku jadi merasa lega.

“Tapi harus ada ganti ruginya nih, udah bikin aku khawatir,” Kak Ian berkata lagi.

“Apa Kak?”

“Mmm.... abis olimpiade hari sabtu, temenin aku nonton. Sekalian kita refreshing. Setuju?” Kak Ian menawarkan.

Aku berpikir sejenak. “Pulang sekolah langsung nonton?”

“Nggak dong, mungkin sore. Nanti aku jemput di rumah, ya! Deal?”

Aku tersenyum. “Oke, deal!”

***

Cinta Datang TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang