44

831 30 0
                                    

Siang yang sangat tidak bersahabat. Musim hujan begini seharusnya hujan, tapi ini malah panas banget. Aku mengelap keringat dingin yang sedari tadi membasahi dahiku. Huah, gak konsen banget nih! Kerja soal tapi dalam kondisi sakit perut begini. Ampun deh, ampun..........

Kak Aris berjalan menghampiri bangkuku. Sepertinya dia ngeh dengan kegelisahanku.

“Kenapa, Ri?” tanyanya pelan.

Aku mendongak menatap Kak Aris. Duh, penglihatanku juga mulai pusing nih. Biasanya menjelang menstruasi nggak pernah sampai pusing gini. Aku menggeleng.

“Gak papa Kak,” jawabku.

Kak Aris menyentuh keningku, membuatku cukup terkejut.

“Kalo sakit ngomong, jangan dipendam sendiri,” sahutnya.

Aku melihat ke arah teman-teman. Aduh, jadi pusat perhatian begini. Geo juga melihatku tapi tidak berekspresi apa-apa. Dia kembali sibuk mengerjakan soal-soal. Aku meringis, sepertinya perutku benar-benar sakit.

“Ayo pulang!” perintah Kak Aris sambil mengulurkan tangan padaku.

Ia lalu meminta teman-teman untuk lanjut mengerjakan soal-soal.

“Aku antar Ri pulang. Kalian kerja soal sampai waktu yang ditentukan. Nanti aku kembali.”

“Aku pulang sendiri aja Kak, bisa kok,” kataku cepat.

Kak Aris terkekeh. “Sakit masih aja ngotot. Ayo pulang!” katanya lagi.

Aku tidak mau membantah lagi. Kayaknya aku sudah mau pingsan kalau begini. Kak Aris menuntunku keluar kelas. Sumpah, aku jadi malu sama teman-teman, tapi mau gimana lagi. Aku berjalan dan sempat melirik kelas Kak Ian. Ya ampun, kami kan janji pulang bareng. Gimana nih? Kak Ian bakal kecewa gak ya?

“Kenapa, Ri? Ada yang ketinggalan?” tanya Kak Aris.

Aku menggeleng. Nanti aku mengirim sms saja pada Kak Ian kalau aku pulang duluan karena sakit. Semoga Kak Ian tidak marah. Aku dan Kak Aris sampai di parkiran sekolah.

“Nih helmnya,” Kak Aris menyodorkan helm.

Aku tak urung menerimanya. “Helm ini Kak? Tapi.... aku gak bisa pake helm ini. Suka sesak, bagian mulutnya ketutup,” kataku.

Ya iyalah, masa aku pake helm pembalap kayak gini? Kak Aris menggeleng-geleng, dan menggantung helmnya di stang motor bagian kiri.

“Ya udah, naiklah Ri...” Kak Aris menyalakan mesin motor.

Aku mencoba naik di boncengan Kak Aris. Gila juga nih motor, pembalap banget.

“Pegangan ya, takutnya kamu jatuh,” katanya lagi.

Dengan ragu-ragu aku melingkarkan tangan memeluk jaket Kak Aris. Kurasakan ia sempat tersenyum saat aku menyentuh jaketnya.

“Rumah kamu di mana?”

“Jalan Setiabudi Kak.”

“Oke.”

Dengan segera motor melaju meninggalkan sekolah. Kak Aris sempat bertanya, “Kamu emang gejala mens ya?”

Aku mengernyit, tidak berminat menjawab. Kepo banget sih urusan cewek, ini kan sensitif.

“Lah, diem aja. Pasti mens kan? Haha... ngapain malu jawab? Itu kan lumrah buat kalian para cewek, kalo cowok yang mens baru malu.”

Aku menyengir pelan walau Kak Aris tidak melihatku. Kututup mataku karena rasanya semakin pusing. Akhirnya aku bersandar pada punggung Kak Aris. Selang beberapa lama kemudian, kurasakan motor berhenti melaju. Aku membuka mata karena kudengar suara berisik antara Kak Aris dan...... polisi.

“Cewek saya lagi sakit, Pak. Dia bisa sesak nafas kalo make helm ini, makanya gak kubiarkan dia pake helm,” kata Kak Aris.

Aku berupaya duduk tegak dan menatap pak polisi. Tuhan, jangan bilang kalo kami akan ditilang.

“Tolong ya Pak, kami gak bohong. Cewek saya lagi sakit itu. Surat-surat saya kan juga lengkap Pak.”

“Iya tapi pacar adek ini gak pake helm. Bahaya!”

“Bapak mau dia pake helm tapi akhirnya jadi sesak nafas?” tanya Kak Aris, “Kalo sampe kondisinya gawat gimana?”

Aku hanya bisa memegang erat jaket Kak Aris.

“Liat Pak, tangannya sampe gemetar gini kan? Saya gak boong, Pak,” kata Kak Aris lagi sambil menunjuk tanganku.

Polisi sempat memperhatikanku, dan akhirnya beliau berkata kepada Kak Aris, “Lain kali kalian pake helm. Saya lepasin kalian ya, tapi gak gratis!”

What? Ingin aku memprotes tapi apa daya aku tidak sanggup membantah. Kak Aris membuka dompet dan menyelipkan selembar lima puluh ribuan.

“Cuman itu yang saya punya Pak. Kami boleh pergi sekarang?”

Polisi menerima uang tanpa ekspresi, tapi akhirnya ia membebaskan kami. Iiiih.... menyebalkan! Ujung-ujungnya pasti uang. Aku baru mau bersuara tapi motor sudah melaju kembali.

“Kenapa dikasih uang sih Kak?” tanyaku tidak setuju.

“Udaaah, yang penting kita nyampe rumah kamu secepatnya, biar kamu bisa istirahat.”

“Tapi kan tadi sama aja kita.....”

“Ssssst, ketua preman gak akan biarin kamu kenapa-napa. Aku udah bilang kan, kamu aman kalo sama ketua preman!”

Aku hanya menyengir. Tau ah, yang penting sampai rumah dan aku bisa segera minum obat.

***

Cinta Datang TerlambatWhere stories live. Discover now