Rona IV: Biru

1.8K 372 41
                                    

Indigo tenggelam. Laut melahapnya utuh seperti mulut kelaparan yang menanti-nanti santapan pembuka. Hidung dan mulutnya terjejali air asin yang seumur-umur belum pernah dia cicipi. Seumur hidup tinggal di desa yang dikelilingi hutan sehingga dia tidak pernah berenang dan tidak tahu caranya, tubuh perempuan itu hanya kian terjerumus ke kedalaman laut. Tangannya menggapai-gapai dengan percuma, mengharapkan pertolongan yang tidak kunjung datang. Kakinya menghentak-hentak ke atas, takut sewaktu-waktu akan menginjak permukaan laut yang konon amat dalam, gelap, dan dipenuhi ikan-ikan besar berbentuk mengerikan.

Sialnya, Indigo bukannya diceburkan ke bagian pantai yang dangkal. Dalam keterkejutannya, dia sadari bahwa kedalaman laut yang dia selami paling tidak sepantar lima kali lipat tinggi rumahnya. Hamparan terumbu karang menyambut perempuan itu di sekeliling, menampilkan kilasan ikan-ikan yang berhamburan ke sana kemari. Namun, tekanan air asin—selain memekakkan penglihatan dan pendengaran—juga menghambat gerakannya. Semakin gigih Indigo berupaya mencapai udara, semakin dalam pula dia tenggelam. Napasnya sudah tidak keruan tatkala air asin menjejali tenggorokan dan kerongkongannya. Terpaksa takluk, kesadaran perempuan itu pun mulai berkurang. Sempat dia pergoki makhluk biru, berbentuk seperti payung dengan gagang berupa tentakel-tentakel, melintas di depannya. Bila tidak salah mengingat, bila sesuai dengan yang dia baca pada buku-buku bergambar, makhluk itu adalah ubur-ubur—tetapi Indigo sudah terlalu lemas untuk peduli kebenarannya. Seiring matanya terpejam, tubuhnya yang sudah tanpa daya kian tertelan air. Bahkan tanpa sempat mengutuk Pak Petuah, Indigo relakan sisa-sisa napasnya membentuk gelembung-gelembung kecil selaku penghabisan.

Namun, tatkala kelopak matanya tertutup sepenuhnya, bukan kegelapan yang Indigo temui. Perlahan, dia dapati napasnya kembali. Sinar menyilaukan memenuhi benak perempuan itu sebelum kilasan-kilasan peristiwa beruntun melabraknya. Kilasan tersebut, satu per satu, mengejewantah ragam rupa dan raga. Kendati mata dan telinganya terkendala untuk berfungsi saat itu, Indigo dapati kilasan-kilasan tersebut mengirimkan visualisasi yang hanya benaknya mampu sesapi. Gunung, laut, pantai, hutan, padang rumput, sungai, tebing, gurun, danau, sawah, kebun, tundra, ladang, mata air, sabana, muara, lembah, jurang, rumah-rumah, desa-desa, kota-kota, bangunan-bangunan tinggi—satu per satu wujud mereka berlintasan dalam benak Indigo. Berangsur, entah bagaimana menemukan jalur melalui telinga yang disesaki air, suara-suara ganti membelesaki kepala perempuan itu. Tangisan, teriakan, tawa, jeritan, celotehan, bisikan, hiruk pikuk—semuanya Indigo dengar secara bersamaan dan lantang seolah-olah ribuan orang sedang berdesakan di dalam kupingnya.

Seakan belum cukup, kini kilasan manusia-manusia asing beserta pelatarannya menjamah benak perempuan itu. Satu peristiwa dalam sekali waktu, dilanjutkan oleh ragam kejadian lainnya. Secara bergantian, Indigo saksikan bayi tertawa di atas ranjang, pasangan orangtua tersenyum kala mengantar anak mereka ke sekolah, seorang lelaki yang bersorak gembira di atas panggung, anak-anak bersenda gurau di balik meja-meja belajar, dan seorang nenek yang terkekeh mengantar cucunya berjalan-jalan. Indigo dapati bibirnya nyaris tersenyum sebelum tiba-tiba luapan emosi membahagiakan itu melenyap.

Kilasan peristiwa lain lantas berkelebat di dalam benak Indigo. Kali ini, dia dapati seorang laki-laki hendak gantung diri di tengah hutan, anak-anak kecil ditendang oleh pria-pria garang berbadan besar, satu keluarga menjerit tatkala rumah mereka diledakkan oleh granat, tangan seorang wanita dipotong karena ketahuan mencuri beras, seorang perempuan setengah telanjang tengah kabur dari pemerkosa, orangtua menangis histeris di atas makam anaknya, dan—terakhir—refleksi Nila kecil yang sedang menangis sewaktu kucingnya dibakar hidup-hidup oleh kakak-kakak sialannya.

Kengerian serta-merta meledak seumpama ribuan balon meletus di dalam benak Indigo. Terdiam mengapung di tengah kedalaman laut, dengan mata masih terpejam, Indigo ingin meronta tetapi seluruh indranya terlampau kebas. Air matanya lekas melebur dengan air laut. Sesak teramat, tanpa bisa dia luapkan, meliputinya. Bukan akibat paru-parunya yang dimasuki air, tetapi oleh kilasan peristiwa bengis yang entah bagaimana mampu Indigo saksikan dengan kesadaran penuh. Seolah dia mengalaminya sendiri. Seolah dia merasakan semua penderitaan tersebut melalui sepasang matanya.

Rona (Novel - Ongoing)Onde histórias criam vida. Descubra agora