Rona V: Merah

1.8K 332 78
                                    

Pada beberapa kesempatan, setidaknya satu kali dalam sebulan ketika Pak Petuah sedang tidak terlalu malas atau encoknya tidak kambuh, pria itu itu akan mengajak Indigo berjalan-jalan ke desa di dekat pantai. Bukan untuk memulung, tetapi sekadar ekskursi sekaligus membeli beberapa kebutuhan rumah tangga seperti bahan makanan dan sabun murah. Agak jauh, memakan lebih dari tiga ribu langkah, tetapi itu adalah saat-saat yang sangat Indigo nantikan. Di sana, meskipun tidak benar-benar mengenal para penduduk desa, perempuan itu bisa menemui manusia-manusia lain dan berinteraksi sekenanya tanpa perlu membeberkan banyak soal dirinya sendiri—seperti yang diisyaratkan Pak Petuah pada setiap kunjungan mereka.

Di desa yang dinilainya jauh lebih waras dari kampung halamannya sendiri, sementara Pak Petuah melakukan tawar-menawar sengit dengan para pedagang di pasar tatkala berbelanja bahan makanan, Indigo biasanya memanfaatkan waktu untuk berkeliling. Dengan dalih mengajak Iloa jalan-jalan, dia diizinkan mengelilingi desa asalkan tidak banyak bercakap dengan warga. Lagi pula, karena tawaran harga dari pria tua itu jauh lebih sadis dan pelit dibanding gerombolan ibu-ibu sekali pun, sudah pasti bakal berlarut-larut sampai mencapai kesepakatan harga, Indigo dan Iloa bisa berlama-lama pergi. Mereka berdua mengunjungi banyak tempat selagi menunggu: pelataran rumah-rumah, warung, kandang hewan ternak, kolam ikan, sawah, ladang, hingga tepian sungai.

Kala itu, pada kunjungan terkini, adalah musim panen. Begitu mencapai sawah usai mengusik ikan-ikan lele di kolam, Indigo dapati petani-petani sedang menuai padi pada petak-petak kekuningan. Seraya mengamati para petani, perempuan itu susuri jalan kecil yang membelah pesawahan. Di sana, sambil menyeimbangkan langkah pada jalur sempit nan becek dan mengabaikan Iloa yang patuh menunggu di pinggir sawah, Indigo merentangkan kedua tangannya ke udara. Sesekali tubuhnya dibuat berputar lambat, sesekali pula cepat. Perlahan dia resapi udara dengan mata terpejam dan membiarkan sepoi angin membelai wajahnya. Kadang-kadang, Indigo pergoki beberapa petani tersenyum ke arahnya selaku reaksi terhadap khidmat yang dia hayati. Namun, saking bersemangatnya, kaki kanan Indigo silap selagi berputar dan mengakibatkan tubuhnya terhuyung. Detik selanjutnya, perempuan itu pun jatuh ke salah satu petak sawah yang sudah botak dari padi, gegabah melumuri pakaiannya dengan lumpur-lumpur cokelat nan pekat.

Salah satu petani lantas mendekati Indigo. Seorang wanita tua, bertubuh bungkuk, dan mengoleksi keriput pada wajah rentanya. Kendati sebagian wajahnya agak tertutupi topi jerami, Indigo dapat menyelami senyum ramah yang tersungging tatkala nenek petani itu menjulurkan tangan padanya. Indigo terperangah, menyambut uluran tangan tersebut dari posisinya yang terduduk di atas tanah berlumpur.

Namun, begitu kulitnya menyentuh telapak tangan kasar si nenek petani, tiba-tiba latar pesawahan menghilang dari sekeliling Indigo. Perempuan itu termangu tatkala mendapati posisinya justru berpindah ke dalam sebuah rumah mungil nan asing. Petani-petani lain dan Iloa turut melenyap dari jarak pandangnya. Hanya nenek itu yang berada di hadapannya, masih memegangi jari-jari Indigo dengan erat. Namun, tak jauh dari mereka, Indigo temukan sebuah ular besar tengah melata dan mengintai di samping si nenek.

Saat berikutnya, mulut si ular menganga dengan lidah terjulur panjang. Tanpa terhindarkan, taring hewan tersebut lantas menancap pada betis si nenek petani yang tidak tertutupi kain batik. Sontak Indigo menjerit, tetapi nenek itu tetap tersenyum sebelum tubuh rentanya mulai terhuyung.

Tatkala Indigo hampir meneriakkan kata, "Tolong!", mendadak petak-petak pesawahan kembali melingkarinya. Si nenek petani masih berdiri tegak di depannya, bernyawa serta tersenyum penuh jiwa. Betis kisutnya, meskipun ternoda lumpur, masih utuh tanpa tersentuh ular mana pun.

"Kamu tak apa-apa, Nak?" tanya si nenek petani.

"I-iya," ucap Indigo tergugu. Mengira penglihatan barusan hanya halusinasinya semata, dia pun meneruskan, "Terima kasih!"

Rona (Novel - Ongoing)Onde histórias criam vida. Descubra agora