Rona IX: Marun

1.3K 251 57
                                    

Hampir seperti mimpi yang terlampau indah, selama dua minggu tinggal bersama laki-laki bernama Crimson, Indigo tidak mengalami apa-apa yang mengganggu. Mimpi-mimpi aneh berhenti muncul di dalam tidurnya. Berita kebakaran misterius tidak lagi diungkit-ungkit dalam tayangan televisi, seperti halnya berita-berita lain yang mudah tergantikan oleh liputan kampanye politik yang sedang marak atau gosip-gosip selebritis yang selalu dibuat merebak. Bagi Indigo, berita-berita itu tidaklah baru, sebab sewaktu masih tinggal bersama Tuan Tanah dan keempat istrinya, ihwal-ihwal itulah yang sering ditayangkan oleh televisi mungil yang layarnya sering kali buram akibat susah sinyal. Yang membuat Indigo sedih, peristiwa-peristiwa mengerikan yang dia saksikan di dalam mimpinya amat jarang diungkit di televisi. Andaikan muncul, hanya sekali dua kali. Setelah itu, terlupakan. Bahkan nasib anak-anak jalanan, pengemis, dan pengamen yang sempat menjadi kawan sehari-dua hari Indigo tak pernah disorot sama sekali. Hanya remah-remah yang dianggap remeh.

Kendati demikian, koleksi buku Crimson cukup menyita perhatian Indigo. Belum menguning dan lapuk seperti koleksi Pak Petuah, bahkan cerita-ceritanya pun cenderung lebih segar daripada buku-buku konservatif nan klasik milik mendiang pria renta itu. Selain buku fiksi, Crimson kerap memberinya buku-buku pelajaran. Matematika, Bahasa, Sains, Ilmu Sosial, dan lain sebagainya. Beberapa adalah buku umum yang ditujukan untuk sekolah-sekolah menengah, sedangkan beberapa lainnya memuat tulisan 'Ujian Persamaan' dan 'Ujian Paket' pada bagian depan sampul. Indigo tidak mengerti maksud Crimson menawari buku-buku itu padanya, tetapi dia tetap melahap mereka dengan saksama sekaligus mengerjakan soal-soal yang termuat di sana dengan bantuan laki-laki itu. Sering kali mereka berdua membaca dan mendiskusikan soal-soal di sofa, meja makan, atau di kasur kamar.

Namun, setelah dua minggu dan koleksi buku Crimson nyaris terbaca habis, Indigo mulai tidak betah. Sesekali Crimson pergi selama beberapa jam—katanya untuk membeli bahan makanan—tetapi tidak pernah mengajaknya serta. Laki-laki itu bahkan mengunci pintu apartemen dari luar. Saat itu, Indigo tidak mempermasalahkannya sebab dia masih sungkan bepergian. Namun, akhirnya bosan hanya mengamati pemandangan kota melalui jendela, di penghujung minggu itu Indigo pun mengutarakan keinginannya pada Crimson sewaktu mereka berdua sedang makan sarapan.

"Aku ingin mampir keluar," ujar perempuan itu yang, daripada permohonan, lebih menyerupai penegasan. Seolah-olah dia akan tetap menerobos ke luar meskipun Crimson tidak mengizinkan.

Dan memang, laki-laki itu tampak kurang berkenan. "Kurasa jangan dulu, Indigo. Aku akan membawakanmu lebih banyak buku. Atau kamu mau kubelikan lebih banyak baju?"

Benar bahwa, karena Indigo hanya mempunyai satu pakaian yang selama ini dia kenakan dari desa, Crimson telah membelikannya baju-baju baru berpotongan sederhana berupa kaos dan celana panjang sebagaimana yang disukai perempuan itu. Tetap, Indigo mengernyit protes. "Buku-buku itu hanya membuatku sedih dan pusing. Aku juga tidak butuh banyak baju. Aku hanya ingin pergi ke luar sebentar!"

Dengan nada lembut dan menenangkan, Crimson membujuk, "Kuyakin beberapa buku berhasil menghiburmu?"

"Tapi selalu sepi setiap kamu pergi," ucap Indigo. Setelah sempat terheran mengapa dia bisa begitu lunak di hadapan laki-laki itu, dia cepat-cepat melanjutkan, "Bawa aku bersamamu."

Crimson tercenung oleh ucapan tersebut. Matanya menatap Indigo dalam-dalam. Mata yang seolah mengetahui segalanya, seperti Pak Petuah, tetapi tidak membiarkan maksudnya tertebak secara gamblang.

"Baiklah," balas Crimson akhirnya, "nanti siang aku akan pergi kalau kamu mau ikut."

Indigo tersenyum amat lebar, terlebih ketika—sesuai ucapan laki-laki itu—mereka berdua meninggalkan apartemen pada siang hari. Berbelanja buah dan sayuran ke swalayan, berjalan-jalan sebentar ke taman seraya mengamati pohon-pohon yang terbilang kian langka di kota, hingga mengamati etalase-etalase toko di pinggir jalan. Di depan suatu toko kecil yang lebih menyerupai rumah, Indigo memergoki etalase kacanya dipenuhi oleh foto-foto berisi gambar beragam motif. Gambar-gambar tersebut tertera di atas kulit manusia, baik pada kulit lengan, kaki, punggung, dan bagian tubuh lainnya. Sebagian besar gambar berwarna hitam, tetapi ada pula yang berwarna-warni.

Rona (Novel - Ongoing)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ