Rona XII: Magenta

1.1K 179 40
                                    

Indigo ingat, tatkala dia masih tinggal bersama keluarga angkatnya di desa, mereka juga mempunyai kepercayaan spiritual terhadap Yang Kekal. Penduduk desa—tak kurang dari hanya dua ratusan orang—menyiapkan sesajen berupa kemenyan, nasi bungkus, dan kudapan tradisional yang disimpan pada titik-titik tertentu sepanjang gerbang. Indigo tak benar-benar percaya. Mungkin dia pernah percaya semasa lebih belia, tetapi berhenti karena Yang Kekal tak kunjung mendengar permohonannya: supaya kakak-kakaknya tak lagi menjahilinya, kucingnya tak dibakar, atau sekadar supaya Pak Petuah dapat cukup sumbangan makan hari itu.

Dan sekali ini, Indigo merasa sekarang merupakan waktu yang tepat untuk kembali memercayai Yang Kekal.

Usai ditarik oleh tangan-tangan buntung hingga menembus kasur, yang Indigo lihat setelahnya hanya kegelapan. Pekat. Melumatnya ke dalam kehampaan tak berdasar seiring lengan-lengan itu menariknya jatuh lebih jauh, yang kemudian lenyap seenaknya. Indigo pun menjerit. Lama, lama sekali seiring dia ditelan oleh kegelapan. Sampai-sampai dia berdoa, dengan sembarang kata pada benaknya, agar Yang Kekal menyelamatkannya dari kengerian tersebut.

Tepat atau tidak, doanya terkabul.

Perlahan, jatuh tubuhnya memelan hingga punggung Indigo mendarat pada semesta hitam tersebut. Tak keras, pula tidak lunak. Lalu, dengan sekali kejapan mata, kegelapan itu lenyap. Putih menyeruak. Bangkit dengan tangan menopang tubuh, Indigo mengerjap-ngerjap.

"Bukan ini yang kuminta," gerutu Indigo, berbicara sendiri seraya beranjak. "Aku mau kembali!"

Suara dari kegelapan menjawabnya. "Doamu tak spesifik."

Indigo menengok, tetapi tak menemukan siapa-siapa pada kegelapan tersebut. "Siapa?"

Suara tersebut tak menjawab pertanyaan Indigo, melainkan lanjut berkata, "Kamu ingin doamu benar-benar dijawab?"

"Apa kamu yang mengabulkan doa-doa?" balas Indigo penasaran, bertanya-tanya dalam hati apakah suara tersebut adalah milik Sang Kekal.

"Bukan," ujarnya, membersitkan sedikit kekecewaan pada Indigo. "Tapi aku bisa mendengarnya."

"Kali ini jawablah, siapa kamu?!" sergah Indigo.

Tidak terdengar suara lagi, tetapi Indigo membayangkan sosok tersebut sedang tersenyum kini. Tak lama setelahnya bisa dia buktikan, begitu kegelapan yang merundungnya sirna dan tergantikan oleh gemilang putih. Indigo tak bisa menaksir luas dimensi yang dia huni kini, sebab tak ada kisi-kisi ruang, tak ada ujung, hanya sosok seorang laki-laki di seberangnya.

Jarak mereka terpaut cukup jauh, barangkali sepuluh meter atau lebih, tetapi Indigo bisa melihat sosok itu sedang tersenyum. Perawakannya--ramping, berambut ikal nyaris sebahu, dengan topi yang menutupi nyaris separuh wajah--Indigo mengenalinya sebagai laki-laki yang pernah dia temui di pinggir jalan. Sosok yang membuka mata batinnya sehingga dia bisa melihat makhluk-makhluk halus, dan kini menyeretnya ke lokasi antah berantah.

"Lazuardi," jawab laki-laki itu. "Panggilanku."

Indigo serta-merta merinding. "Kamu ... yang membawaku ke sini?"

Laki-laki itu hanya menjawab dengan senyuman.

"Keluarkan aku!" sentak Indigo berang.

"Mengapa terburu-buru?" balas laki-laki yang mengaku bernama Lazuardi tersebut. "Kita bahkan belum berbincang."

Indigo mundur sambil menahan gemetarannya sementara Lazurdi mulai berjalan menghampirinya. Dimensi putih ini tampak tak berujung, tetapi insting Indigo mendorongnya untuk melakukan satu hal yang dia kuasai secara fasih: kabur.

Perempuan itu pun berbalik dan berlari secepatnya. Sempat dia menoleh untuk mengecek apakah Lazuardi mengejarnya, tetapi laki-laki itu bergeming pada posisi semula. Lazuardi justru mengacungkan sebelah tangannya: memperlihatkan mata biru terbelalak yang bersarang di sana. Tak mau tersihir kembali, Indigo mempercepat laju larinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 17, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rona (Novel - Ongoing)Where stories live. Discover now