Rona VIII: Crimson

1.1K 233 20
                                    

Malam baru menengah tatkala Indigo dan laki-laki penyelamatnya tiba di depan sebuah gedung tinggi. Tegak, menjulang, kentara di tengah langit malam, meskipun masih kalah dari gedung-gedung pencakar langit di sekelilingnya. Indigo terpukau oleh ruang persegi kecil yang membawa mereka naik lantai demi lantai, terlebih pada banyaknya pintu berderet di gedung tersebut, hingga laki-laki yang dia buntuti berhenti di depan pintu bernomor tiga ratus tiga puluh lima.

"Ayo masuk," ajak laki-laki bernama Crimson.

Indigo menggeleng; setengah khawatir dia akan bernasib seperti sebelumnya, setengah penasaran terhadap apa-apa yang tersembunyi di balik pintu berkenop logam tersebut.

"Aku tidak akan menyakitimu," bujuk Crimson, tersenyum meyakinkan. "Ayo."

Indigo menggeleng lagi, kali ini terdominasi rasa waspada. "Tidak."

Crimson melanjutkan, "Kamu mau diam di lorong ini saja, kalau begitu?"

"Tidak," balas Indigo dingin.

"Apa kamu hanya bisa berkata tidak?" tudingnya.

Indigo nyaris menjawab, "Tidak," lagi tetapi berubah cemberut tatkala laki-laki di sampingnya malah tercengir. Kendati demikian, keraguannya tiba-tiba memupus, terutama setelah Crimson membuka pintu, menyalakan lampu, dan memperlihatkan sekilas pemandangan ruangan di baliknya. Rembesan sinar jingga menerangi interior ruangan, menghantarkan kehangatan yang seolah-olah memanggil Indigo untuk mendekat.

"Ini apartemenku. Kubiarkan pintunya terbuka kalau-kalau kamu mau masuk," ujar Crimson, masuk duluan dan meninggalkan Indigo terperangah.

Koridor yang Indigo tempati dingin, pun masih kosong melompong. Kendati butuh waktu sepuluh detik sampai keraguannya kandas, akhirnya dia masuk perlahan ke tempat berjulukan 'apartemen' tersebut, semata ingin mencari kehangatan dan takut kalau-kalau ada orang lain yang memergoki pakaian-nyaris-gosongnya. Begitu masuk, mata Indigo kontan menelusuri satu-satunya ruang tengah yang tersambung dengan dapur, di mana Crimson sedang menaruh teko berisi air di atas kompor yang baru menyala.

"Duduklah," kata laki-laki itu, menunjuk sofa hitam di pusat ruang tengah.

Apartemen tersebut nyaman, tampak hangat, dan ... benar-benar menyerupai rumah. Bukan gudang kumuh yang baru terlalap api bersama pemiliknya beberapa jam lalu. Bukan pula rumah-rumah Tuan Tanah yang dipenati istri-istri pemarah.

"Minum?" kata Crimson, membuyarkan lamunan Indigo. Laki-laki itu kini sudah menghampirinya, menawarkan cangkir berisi teh panas.

Namun, Indigo hanya tertegun tanpa menyambut suguhan tersebut. "Mengapa kamu membawaku kemari?"

"Ke mana lagi bila bukan kemari? Tidak ada rumah maupun tempat lainnya yang bisa kamu datangi, bukan?"

Meskipun tidak menjawab pertanyaan Indigo, ucapan Crimson telak. Bagaimana bisa begitu tepat, padahal mereka baru bertemu kali ini? Laki-laki bernama Crimson tidak melanjutkan, hanya kembali menyodorkan teh kepada Indigo. Perempuan itu masih tidak menyambut, sedangkan Crimson yang maklum hanya menaruh cangkir teh di atas meja seraya berujar, "Kita bicarakan besok? Kamu pasti butuh istirahat sekarang. Gunakan kamar tidur di samping dapur, aku sudah mempersiapkannya."

Crimson menunjuk sebuah kamar di belakangnya. Di sana, melalui pintunya yang terbuka, Indigo menangkap adanya kasur yang tampak empuk nan nyaman. Kasur yang benar-benar kasur, bukan tikar tipis, bukan alas tidur lusuh yang selama berminggu-minggu belakangan perempuan itu tiduri. Kendati demikian, meskipun Crimson menawarkan dengan begitu sopan, Indigo masih berwaspada. Haruskah dia menurut? Haruskah dia kabur ke luar sekarang juga? Berdasarkan pengalaman delapan belas tahun hidupnya, Indigo hampir yakin tidak ada orang baik di dunia ini. Orangtuanya, kakak-kakaknya, penduduk desa, Tuan Tanah, supir truk, Bang Mondo si bos pengamen—semuanya. Hanya Pak Petuah yang baik padanya, tetapi pria tua itu sudah pergi dijemput maut.

Rona (Novel - Ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang