Rona VII: Kelabu

1.5K 279 47
                                    

Pantai itu tenang. Berombak, walaupun deburannya tidak menimbulkan riak suara. Kendati demikian, Indigo bisa membayangkan bagaimana ombak-ombak tersebut berbunyi. Bagaimana pun, sepertinya begitulah cara mimpi bekerja. Kamu tidak mendengar suara-suara secara harfiah, tetapi sanggup menghayati mereka melalui nalar. Dalam alam bawah sadarnya, nalar Indigo meyakini bahwa gulungan ombak sedang memanggilnya seumpama kawan lama yang mengajak bercengkerama.

Indigo paham dia sedang bermimpi. Tetap, dia ingin menetap. Seperti kebiasaannya dahulu, Indigo dapati dirinya berdiri di tepi pantai. Sendirian. Di sana, dia hanya tercenung, membayangkan semburat matahari seperti kuning telur yang tumpah sementara permukaan laut menangkupnya seumpama wajan. Memandang ke kejauhan, mengagumi cakrawala jingga yang mengambang di atas permukaan air nan nila, serta merasakan debur semu ombak sayup-sayup menggempur telinganya.

Nila. Dia nyaris tidak ingat, pula tidak ingin terngiang, bahwa dia pun sempat menjadi nila seperti air laut di hadapannya. Sebelum menjadi Indigo, biru baru yang terlahir kembali. Namun kini, dengan perginya Pak Petuah, masih pantaskah dia menyandang nama tersebut? Haruskah dia kembali menjadi Nila dan pulang ke kampung halamannya, meskipun dia tidak tahu di mana? Dia bahkan tidak ingat jalan pulang, hampir yakin seluruh perjalanannya adalah halusinasi kala itu. Mungkin, dan hanya mungkin, dia bisa terus mencari dengan berjalan dan terus berjalan, menggunakan arah berlawanan seperti ketika Pak Petuah menjemputnya, tetapi untuk apa? Kenangan akan kampung halamannya terasa seperti memori kabur yang tak Indigo rindukan sama sekali.

"Indigo!"

Lamunan Indigo lekas terbuyarkan oleh suara semu lain yang dia dengar. Panggilan yang tak asing. Refleks dia mendongak ke belakang sebelum tersengat oleh kehadiran seseorang. Kini, jauh di seberang hamparan pasir, di dekat sebuah rumah yang masih berdiri tegak alih-alih puing-puing hitam, Indigo melihat Pak Petuah sedang berdiri menatapnya. Pria tua itu utuh, tanpa luka bakar, dan—yang paling penting—hidup. Di samping Pak Petuah, Iloa menyalak girang seolah turut memanggil.

Indigo terbeliak. Ingin dia berlari menghampiri dua sosok yang teramat dirindukannya tersebut, tetapi kakinya tidak dapat digerakkan sedikit pun. Pasir di bawahnya seolah memerangkap kedua kaki perempuan itu. Kepanikan serta-merta menjalari Indigo, ditambah rasa tidak sabar untuk segera menghampiri Pak Petuah dan Iloa. Namun, tetap dia tak mampu bergerak, sementara di depan sana Pak Petuah memandanginya dengan raut cemas yang melebihi biasanya.

Kecemasan tersebut rupanya bukan tanpa alasan. Gemuruh semu pelan-pelan merambati pendengarannya. Seketika, didorong firasatnya, Indigo menoleh ke belakang. Tiba-tiba saja ombak mulai mengamuk, membentuk gulungan air tinggi yang berlomba-lomba menuju daratan. Permukaan air bergemuruh seakan-akan diterjang gempa lalu bersiap membentuk tsunami. Semburat jingga mentari pun tak kentara lagi, tertutupi oleh ombak yang terus meninggi. Laut tiba-tiba murka, sementara kaki Indigo masih tidak dapat digerakkan seujung jari pun.

Dalam kepanikan yang memuncak, Indigo kembali menatap ke depan. Pak Petuah sedang berlari ke arahnya dengan tangan menggapai-gapai, tetapi—di dalam mimpi pun—langkah pria tua itu masihlah lambat dan tertatih. Di belakang mereka, Iloa tidak turut mengejar, salakannya terhenti, dan justru terdiam memandangi tingkah dua manusia tersebut seperti menonton tayangan layar tancap yang sering digelar di lapangan desa.

Lengan Indigo pun balas menjulur ke depan, berharap Pak Petuah dapat segera meraihnya. Namun, pergerakan ombak jauh lebih cepat. Detik berikutnya, air sudah menerjang Indigo, melahap perempuan itu sebelum menariknya dengan arus yang semena-mena kembali ke lautan.

Kemudian, yang terakhir Indigo dengar sebelum laut menelannya, adalah teriakan lantang nan terengah dari Pak Petuah: "KEMBALI!"

Kedua mata Indigo sontak terbuka lebar-lebar. Laut yang melumatnya telah hilang, tergantikan oleh langit putih pucat yang dapat dia saksikan melalui kaca jendela.

Rona (Novel - Ongoing)Where stories live. Discover now