Bagian 1.1

168 10 11
                                    

Bagian 1

Membersamaimu adalah hal yang ingin kulakukan setiap hari, karena buatku kau sudah seperti keluargaku.

Aku mengeluarkan suara sonarku di hamparan laut Jawa. Mengobrol dengan rekan sekelompokku. Sesekali kami melompat dan beradu kecepatan renang. Kadang kami melompat di atas permukaan laut lalu tenggelam lagi.

Aku sudah siap melompat sekali lagi ketika rekan-rekanku menghentikan laju renang mereka. Semua mata mereka memandang ke langit. Beberapa detik setelahnya suara sonar kembali terdengar dari kelompokku. Mengajak semuanya berenang ke dalam lautan.

Aku tahu akan sulit bagi kami untuk berlama-lama dalam laut. Tapi menjadi hal yang berbeda jika langit sudah menunjukkan lima warna, yakni biru gelap, biru cerah, putih, oranye, dan kelabu. Semua makhluk laut, apapun jenisnya akan berlomba masuk ke dalam air. Berada di bawah pantulan cahaya lima warna tadi yang dalam sekejap akan membawa kami ke dunia bawah laut. Ah, bukan. Lebih tepatnya Kota Dalam Air.

Aku segera menyelam ke dalam air. Bisa kulihat beberapa temanku yang sudah berada di bawah pantulan cahaya lima warna tadi menghilang. Buru-buru aku berada di bawah pantulan cahaya itu. Memejamkan mata dan sedetik kemudian hawa air akan terasa berbeda.

Aku membuka mataku detik berikutnya. Seperti biasanya aku sudah berada di depan gerbang Kota Dalam Air. Penjaga yang selalu berpakaian hijau menatapku dengan ramah. Mereka pasti sudah tahu kalau akan mendapat kunjungan dari makhluk air hari ini.

Aku yang sudah berwujud beda dari wujudku di lautan langsung melangkah. Melewati gerbang depan dan langsung menuju ke pusat perbelanjaan. Para kerang bahkan sudah tampak menjual mutiaranya. Cumi-cumi menawarkan tintanya yang bisa memberi tato pada kulit makhluk air lainnya.

Aku menggeleng ketika beberapa dari penjual menawarkan jualannya. Tujuanku bila berada di Kota Dalam Air ini hanyalah mengunjungi teman lama. Teman yang kukenal di hari kami kehilangan keluarga terdekat kami. Teman yang menjadi ‘sendirian’ di hari yang sama. Teman jauh yang berada di laut lepas Brazil sana, yang akan selalu ke kota ini jika langit menjadi lima warna. Dia satu spesies denganku juga.

Aku merekahkan senyum ketika melihat rambut abu-abu terang yang tergelung indah dan beberapa mutiara berwarna merah muda tampak menempel di atas kepalanya. Aku mengenalinya meski dia sedang membelakangiku.

“Hai, Julia!” Aku menyapa sambil menyentuh pundaknya. Mantel abu-abu terang yang menjadi pakaiannya mengibas ringat saat dia menoleh ke arahku.

“Hai, Laut Jawa nomor 34!” sahut Julia dengan logat Brazil yang dia buat-buat. Aku tidak tahu kenapa dia begitu senang dengan logat manusia dari bangsa itu.

“Ayolah! Aku sudah memanggilmu Julia. Bukan si Brazil nomor 21,” aku menegurnya dengan ekspresi sebal. Siapa yang mau disebut dengan nama wilayah dan nomor urut ketika dia sudah punya nama?

Julia tergelak. “Aku heran kenapa kau begitu sensitif padahal kau laki-laki,” sindirnya sambil mengisyaratkan agar aku ikut masuk ke kedai minuman yang di kelola para ikan pipih.

“Karena aku punya nama,” sahutku geram. Aku heran, kenapa Julia selalu senang meledekku dengan nomor urut itu?

“Banyubiru. Nama keren itu kutemukan setelah mendengar obrolan para lumba-lumba lain. Artinya sangat cocok untukku. Mewakili rasa sukaku pada laut yang biru.” Aku kembali menjelaskan namaku pada Julia.

“Iya-iya,” Julia menyahut dengan malas. “Air berwarna biru. Kau memilih menjadikan nama karena kau sangat suka dengan air yang berwarna biru. Kau sudah menceritakan itu ratusan kali, Banyubiru,” ujarnya dengan ekspresi kesal dan penuh penekanan pada namaku.

“Dan kau ratusan kali juga menyebutku dengan Laut Jawa nomor 34. Rekan sekelompokku saja sudah lupa dengan namaku yang itu,” sungutku sambil mengambil botol bening berisi air segar.

Julia mengambil botol yang sama lalu mengajakku duduk di meja kosong yang ada di dekat pintu masuk kedai. “Sejujurnya aku hanya senang melihatmu kesal begini. Makanya aku sering menyebutmu Laut Jawa nomor 34.” akunya.

Aku mendesis.

“Jadi bagamana kabar laut Brazil?” Aku memancingnya dengan pertanyaan tentang Brazil.

Julia terkekeh pelan. “Aku tahu yang ingin kau tanyakan bukan itu,” sahutnya lalu menatapku tajam.

Julia benar. Ada hal lain yang ingin kutanyakan. Hal menarik yang selalu dia ceritakan padaku. Hal yang terkadang bisa membuat siapapun yang berasal dari bawah air menjadi muram.

“Apakah manusia yang kau suka masih menemuimu?” Aku kembali bertanya namun dengan subjek yang berbeda.

Julia tersenyum lemah. Aku tahu hari ini aku akan mendengar cerita duka darinya.

“Tidak. Dia menghilang,” suara Julia terdengar sedih. “Aku tak bisa menemukannya meski seluruh pinggiran pantai Brazil kujelajahi. Dia menghilang di balik kota yang tak mampu kukunjungi.”

Aku melemparkan pandangan simpati padanya. Aku tahu mengapa dulu dia ingin ke laut Brazil. Dia ingin menemui kakaknya yang menghilang setelah jatuh cinta pada manusia. Sayangnya dia harus menemukan bahwa kakaknya yang sudah menjelma menjadi manusia setengah ikan atau para manusia sering menyebutnya sebagai Duyung, tak bernyawa di dasar laut. Sebuah kenyataan pahit yang harus dia terima usai menempuh perjalanan panjang.

“Kalau kau ke Telaga Keajaiban dan melepas jati dirimu, kau bisa mencarinya di daratan,” ujarku menyarankan. Meski aku tahu saranku bukanlah pilihan yang benar.

Julia menggeleng. “Aku tahu ini akan terjadi. Manusia itu hanya kasihan padaku yang melihat terdampar di tepi pantai. Dia merawatku tanpa bermaksud membuatku jatuh cinta. Aku saja yang telah berlebihan dalam menanggapi sikapnya.” Julia kemudian menatapku lama. Matanya nanar, penuh luka. “Kalau aku melepas jati diriku, apakah kau bisa menjamin bahwa aku tidak bernasib tragis seperti kakakku?”

Lanjut ke bagian 1.2

BANYUBIRU 100 Bunga Matahari (Revisi) Karya Orina FazrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang