Bagian 3.3

40 3 2
                                    

...
“Baiklah,” aku menyahut dengan suara sonarku lagi. Kali ini wanita di depanku tersenyum lebar.

“Apa itu berarti kau bersedia?” Dia menatapku penuh harap. Matanya mengerjap beberapa kali. Membuatnya terlihat lebih manis.

Harus bagaimana aku menjawabnya agar dia mengerti? Ah, benar. Dia pasti paham kalau aku mengangguk. Segera aku menganggukkan kepalaku.

Wanita tadi tertawa lagi. Tawa yang membuatku melebarkan senyuman.

“Kau benar-benar mengerti ucapanku,” katanya kagum.

“Tentu saja,” sahutku bangga.

“Dan kali ini aku mengerti maksud ucapanmu. Kau setuju,” senyum lebar tersungging di bibirnya. Membuatnya terlihat cantik.

Rambut basahnya yang mulai mengering dia rapikan. “Baiklah. Sekarang apa yang bisa kita lakukan bersama-sama?” Dia itu tampak berpikir. “Bagaimana kalau kita berenang?” ajaknya. Dia mengubah posisinya menjadi tengkurap di air. Lalu dia mulai berenang.

“Aku tidak bisa,” kataku lemah sambil melemparkan pandangan tidak enak hati padanya. “Ekorku masih sakit,” tambahku lagi ketika kulihat dia masih terus berenang. “Hei, kubilang aku tidak bisa,” teriakku lagi.

Wanita itu menghentikan gerakannya. Dia menoleh ke arahku dengan heran. Dia mendekatiku lagi. “Kenapa? Kau tidak mau berenang denganku?” wajahnya tampak kecewa.

“Bukan begitu,” aku menyahut lagi kali ini dengan rasa frustasi. Bagaimana cara menjelaskan bahwa aku sedang tidak bisa berenang?

Aku menatapnya lama, melihat wajahnya yang berubah kesal. Dia sepertinya akan meledak.

Aku mencoba menjelaskan padanya dengan isyarat mataku. Kulirik ekorku dengan ekspresi sedih. Kuharap dia paham.

Aku melakukannya berkali-kali sampai dia akhirnya bergerak mendekatiku dan menyentuh ekorku. Aku meringis menahan sakit yang timbul dari tulang-tulangku akibat sentuhannya.

“Kau terluka?” katanya panik. “Bagaimana ini? Aku tidak tahu adakah dokter hewan yang bisa mengobatimu di sini. Aku juga tidak bisa membawamu begitu saja dari sini. Terlalu mencolok dan mengundang perhatian warga. Dan kau sepertinya berat,” dia tampak panik.  Meski begitu aku tetap merasa lucu dengan kalimat terakhirnya.

Aku memang berat. Mana ada lumba-lumba yang hampir mencapai dua meter itu ringan? Ada-ada saja dia.

Akhirnya aku menyentuhnya dengan hidungku lagi. Menenangkannya sekali lagi.

Wanita itu menatapku prihatin. Kuambil kesempatan ini untuk menggelengkan kepalaku.

“Aku tidak perlu ke dokter. Aku hanya kelelahan akibat tersapu ombak dan terhempas sampai pingsan. Arus air yang membawaku ke sini,” jelasku. “Dalam beberapa hari aku sudah bisa berenang lagi.”

“Apa?” tanyanya bingung.

“Tidak perlu membawaku ke dokter,” ualngku.

“Kau bilang apa?” tanyanya. Tampak frustasi. Aku tak kalah frustasi. Bagamana cara membuat wanita ini kembali paham dengan maksudku?

“Kau ingin ke dokter?” dia bertanya lagi. Kali ini dengan kalimat tanya yang bisa kujawab dengan bahasa isyarat.

Aku menggeleng cepat sebagai jawaban. Seketika wajah frustasinya berubah lega. “Jadi itu maksudmu,” katanya. “Baiklah. Berarti kutemani kau di sini saja,” putusnya. “Tapi aku tidak bisa terlalu lama di air. Kulitku akan keruput karena air asin ini.”

Aku mengangguk paham. Tidak mengapa. Setidaknya dalam masa penyembuhanku aku tidak selamanya sendirian. Ada Manusia baik hati yang mau berbicara padaku dan memahami kondisiku.

Percikan air mengenai wajahku. Pelakunya tampak terkekeh senang. Merasa lucu melihatku yang terkejut. Siapa lagi kalau bukan manusia yang sedang menemaniku ini?

Dia sepertinya sedang mengajakku bercanda. Aku jadi teringat rekan lumba-lumbaku. Kami sering bercanda ketika sedang bersantai. Kami akan saling menghempaskan tubuh dan memercikkan air laut ke teman yang sedang bersantai. Sayang, karena tubuhku masih lelah, aku hanya bisa menggerakkan tanganku. Sedihnya, cipratan yang diciptakan tanganku tidak bisa mengenainya.

Wanita itu terbahak lagi. Aku senang mendengar suara tawanya. Aku pandangi dia yang menatapku dengan gemas.

Apa sekarang kau menyadari pesonaku? Tanyaku dalam hati dengan bangga.

Eh? Tunggu! Apa yang kubilang barusan? Kenapa Manusia harus terpesona padaku? Lagipula kami hanya akan bertemu dalam beberapa waktu. Setelah itu aku akan pergi. Menuju ke laut di mana teman-temanku berada.

Cipratan air mengenai wajahku lagi. Rupanya wanita ini masih bersemangat menggangguku. Baiklah, akan kubalas dengan kekuatan seadanya.

Kupukul lagi air dengan kedua tanganku. Kali ini dengan lebih bertenaga dan dengan cepat. Tapi tetap saja hasilnya hanya percikan kecil. Lagi-lagi wanita itu terawa.

Aku mendengar tawanya dengan hati gembira. Hm, Sepertinya aku mulai menganggap suara tawanya ini sebagai nyanyian merdu. Tidak apa-apa kan, kalau aku menganggapnya begitu?

“Kau menggemaskan sekali,” katanya sambil mencubit pipiku.

Aku merekahkan senyum lebar. Bangga karena dia menyebutku menggemaskan. Pujian pertama dari Manusia pertama yang kukenal. Ah, aku rasa aku mulai menyukai Manusia berkat bertemu dengannya.

Ah, aku ralat omongaku yang sebelumnya. Jikalau aku bisa memutar ulang waktu, aku ingin kembali. Aku akan membiarkan diriku terseret Tsunami. Kuharap Tsunami langsung membawaku bertemu denganmu. Sehingga aku punya lebih banyak waktu untuk kuhabiskan bersamamu.

[]

Banyubiru ketemu manusia. 😊

BANYUBIRU 100 Bunga Matahari (Revisi) Karya Orina FazrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang